Part 45

12.6K 842 26
                                    

Malam yang sangat panjang dan melelahkan bagi Hazel. Rasanya ia ingin segera kabur dan membaringkan tubuhnya di ranjang yang empuk. Seluruh badannya terasa pegal namun bagaimanapun Hazel tidak boleh menunjukkan itu semua di depan tamu undangannya. Ini belum berakhir, tidak, pestanya sebentar lagi berakhir dan Hazel bisa terbebas dari ini semua.

"Kau baik-baik saja?" Samuel menyentuh punggung Hazel hingga membuat mata Hazel terkejap.

Hazel berusaha tersenyum, ia mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja."

"Bertahanlah sebentar lagi," Ujar Samuel dengan senyum hangat yang bisa melelehkan hati siapapun.

"Kau ingin duduk?" Lanjutnya, Hazel berusaha menggeleng namun dahi Samuel mengerut dalam.

"Ku rasa kau memang perlu duduk. Ayo." Samuel menuntun Hazel menuju meja bundar yang dikhususkan untuk pengantin.
Lelaki itu menarik satu kursi lalu mengisyaratkan agar Hazel duduk di sana.

"Tapi masih banyak undangan—"

"Tak masalah. Biar aku yang menemui mereka. Kau bisa duduk di sini dan menunggu. Oke?"

Hazel tak mau berdebat terlebih Samuel sangat perhatian kepadanya. Akhirnya Hazel hanya bisa tersenyum lalu mengangguk.

"Baiklah, aku pergi dulu, dan kau jangan ke mana-mana."

Hazel mendengus geli. "Pergilah, Sam."
Samuel membalas senyum Hazel, lelaki itu memperhatikan wajah Hazel untuk sesaat, ia lalu mengelus bahu Hazel kemudian melangkah pergi meninggalkan Hazel duduk sendirian.

Hazel mengedarkan pandangannya, semua orang di ruangan itu sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sementara penyanyi yang mengiringi acara pernikahan ini terus bernyanyi, entah sudah berapa lagu yang sudah ia nyanyikan. Tidak bisa menahannya lagi, Hazel menghembuskan napas lelah. Ia menunduk menatap heels yang ia kenakan, hingga sebuah tangan yang lembut dan hangat yang menyentuh bahunya membuat Hazel sedikit tersentak. Hazel mendongak, ia melihat Samuel yang sudah kembali sedang menatapnya.

"Hey, kau masih bisa berjalan?" Tanyanya dengan lembut.

"Ada apa?"

"Ada yang ingin bertemu denganmu."

Hazel terdiam beberapa saat, ia lalu beranjak berdiri sehingga membuat Samuel mengulurkan tangannya untuk membantu Hazel.

"Baiklah, ayo."

Hazel yang masih memegang tangan Samuel mengikuti langkah lelaki itu yang membawanya ke suatu tempat. Ia mengedarkan pandangannya ketika Samuel membawanya ke taman yang berada di luar gedung. Hazel menatap Samuel seolah meminta penjelasan darinya.

"Di mana orangnya?"

Samuel tersenyum tipis, kepalanya bergerak dan pandangannya terlempar ke arah belakang membuat Hazel membalikkan tubuhnya, matanya langsung terpaku ketika melihat Jericho berdiri di sana sedang menatapnya. Tubuh Hazel terasa membeku, perempuan itu hanya bisa menatap Jericho yang berdiri berbalut setelan hitam berdiri di hadapannya.

"Take your time. Aku akan menunggu di dalam." Hazel mendengar suara Samuel yang berbicara pelan di belakangnya. Ia merasakan sentuhan Samuel di lengannya lalu terdengar suara langkah kaki Samuel yang meninggalkannya.

Hanya tersisa Jericho dan Hazel di sini, keduanya seolah sedang larut dalam dunia dan pikirannya masing-masing, seolah diri mereka yang sebenarnya tidak berada di sana.

"Hai."

Suara rendah Jericho menyadarkan Hazel. Ia mengedipkan matanya lalu melihat Jericho yang tersenyum tipis ke arahnya.

"Hai." Balas Hazel dengan suara sedikit berbisik.

Perlahan Jericho melangkah menghampiri Hazel hingga jarak di antara mereka hanya tersisa kurang dari satu meter.

"Aku pikir kau tak akan datang."

Sudut bibir Jericho terangkat. "Inginnya seperti itu. Tapi..."

"Tapi?"

"Aku tidak bisa. Setidaknya kita harus bertemu dan berbicara untuk terakhir kalinya dengan cara yang tepat."

Tenggorokan Hazel tercekat. Bibir perempuan itu sedikit terbuka namun tak satu katapun lolos dari mulutnya seolah semua tertahan di ujung lidahnya.

"Kau terlihat sangat cantik malam ini."

Mata Hazel memanas, ia menunduk kemudian terkekeh pelan.
"Aku selalu cantik setiap hari, Jericho."

Jericho tertawa pelan dengan mata berkaca-kaca. "Kau benar."

Kemudian terjadi keheningan, untuk sesaat Jericho hanya memperhatikan Hazel, satu tangannya yang berada di dalam saku celananya mengepal erat. Sementara Hazel berusaha mati-matian menahan air matanya agar tidak lolos dari matanya. Sejak kemarin ia sudah berjanji pada dirinya agar tidak ada air mata yang menetes setidaknya untuk hari ini.

"Hazel?"

Hazel mendongak. "Ya?"

"Semoga kau bahagia."

Hazel mengingkari janjinya, ia tak bisa lagi menahan gejolak di dadanya yang menyesakkan hatinya. Air matanya lolos begitu saja ketika tatapannya bertemu dengan mata biru laut milik Jericho. Bibir Hazel merapat, ia berusaha melengkungkan senyumnya kemudian mengangguk bersamaan dengan air matanya yang tak mau berhenti menetes.
Melihat itu, sinar mata Jericho meredup, lelaki itu melangkah lebih dekat kemudian tangannya terulur untuk mengusap air mata Hazel yang membasahi pipinya.

"Maafkan aku," ujar Hazel dengan suara serak tertahan.

Jericho menggeleng samar, matanya sedikit menyipit. "Tidak Hazel, maafkan aku."

Dada Hazel semakin sesak dan sakit, tangisnya semakin pecah. Tangan Jericho kemudian bergerak menyentuh pipi Hazel, ia mengangkat wajah Hazel agar menatapnya.

"Hey dengar, mulai dari sekarang kau harus bisa lebih bahagia. Samuel adalah lelaki yang tepat untukmu, dia sangat mencintaimu. Mulai sekarang kau harus belajar mencintainya juga, oke?"

Hazel tidak bisa menjawab Jericho, wanita itu mengalihkan tatapannya yang terhalangi oleh air mata ke arah lain.

"Hazel?"

Hazel masih terdiam, Jericho kembali mengusap sisa air mata di pipi Hazel, hal itu membuat Hazel kembali menatapnya.

"Kau juga harus berjanji satu hal padaku."

Jericho mengedipkan matanya, bibir lelaki itu membentuk senyum tipis. "Apa?"

"Kau juga harus bahagia."

Dengan cepat Jericho mengangguk, senyumnya semakin lebar seolah meyakinkan Hazel. "Aku janji."

Untuk sejenak mereka hanya saling menatap satu sama lain.

"Boleh aku memelukmu untuk yang terakhir kalinya?"

Hazel terdiam, perempuan itu tersenyum tipis. "Sure," Bisiknya.

Jericho membawa Hazel dalam dekapannya. Keduanya terdiam dan hanya menikmati dekapan hangat satu sama lain. Tanpa terasa air mata Jericho menetes, dengan cepat lelaki itu mengusapnya kemudian melepaskan dekapannya untuk kembali menatap Hazel.

"Baiklah. Aku harus pergi."

"Ke mana?"

"Menemukan kebahagiaanku, kau ingat?"

Hazel tertawa pelan.

"Kalau begitu, selamat tinggal, Hazel."

"Selamat tinggal, Jericho."

Mr. Wrong✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang