Part 39

11.5K 829 15
                                    

Jericho menatap tumpukan pekerjaannya dengan tidak bersemangat. Sejak tiga puluh menit yang lalu ia hanya duduk bersandar di kursi kerjanya, sementara itu matanya menatap meja kerjanya dengan tatapan kosong. Belakangan ini Jericho tidak memiliki semangat untuk melakukan apapun, entah lari kemana gairah bekerjanya itu. Untuk sesaat rasanya ia ingin melarikan diri saja dari semua ini. Alis Jericho terangkat ketika mendengar suara ketukan pintu, ia menatap pintu ruang kerjanya.

"Masuk."

Sekretarisnya berjalan menghampiri Jericho dengan membawa map di tangannya. "Ini adalah laporan keuangan perusahaan bulan ini, dan ini adalah laporan hasil meeting pagi tadi, Sir."

Mata Jericho mengikuti gerakan tangan sekretarisnya yang meletakkan dua map di atas mejanya. Jericho mengangguk sekilas, ia menatap sekretarisnya. "Tolong kosongkan jadwal saya setelah makan siang nanti.

"Baik Sir, ada lagi yang bisa saya bantu?"

Jericho menggeleng. "Tidak, terima kasih."

Sekretaris Jericho mengulas senyum sambil mengangguk sekali. Ia lalu berbalik meninggalkan ruang kerja Jericho.

Jericho beralih menatap ponselnya saat mendengar ponselnya berdering. Muncul nama Hazel di sana, Jericho terdiam sesaat hingga kemudian ia langsung menjawab panggilannya.

"Hazel, ada apa?"

"Kau masih bekerja?"

"Hampir selesai."

"Bagus. Ayo makan siang bersama."

Jericho menarik lengan kemejanya untuk melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. "Oke. Kirim lokasinya padaku."

"Oke. Sampai bertemu di sana."

Panggilan berakhir. Jericho langsung bersiap-siap untuk pergi.

Sesampainya di restoran yang Hazel maksud, seorang pelayan langsung menghampiri Jericho. Setelah Jericho menyebutkan nama Hazel Kneiling pelayan itu langsung mengantar Jericho menuju meja Hazel. Ia sudah duduk di sana, perempuan itu tersenyum lebar membuat Jericho melakukan hal yang sama.

"Aku sudah memesankan makanan kesukaanmu."

Alis Jericho terangkat, beberapa kali ia kesini bersama Hazel dan Jericho sangat menyukai makanan serta tempat restoran ini. Hingga Hazel pun hafal apa makanan yang biasa Jericho pesan saat makan di restoran tersebut.

"Bagaimana pemotretan?" Tanya Jericho.

"Tidak begitu menyenangkan. Aku bertemu dengan model perempuan yang kurang aku sukai."

"Kenapa?"

"Aku hanya kurang suka karena sikapnya yang kurang baik."

Jericho menatap penuh empati. "Pasti sangat membuatmu tidak nyaman."

Hazel terkekeh. "Rasanya ingin cepat-cepat kelar saja."

Dua orang pelayan kemudian datang, membawakan hidangan sementara salah satunya membawa satu botol wine. Pelayan itu membuka penutup botol wine lalu menuangkannya ke gelas Jericho dan Hazel.

"Ada apa? Tumben sekali."

Hazel menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin minum wine bersamamu."

Jericho terkekeh. Ia memasang lap di pangkuannya, kemudian mulai menusuk steak yang sudah Hazel pesan untuknya.

Sambil menggulung spaghetti-nya Hazel melirik Jericho ragu.

"Bagaimana hubunganmu dengan Sarah?" Tanya Hazel tepat ketika Jericho menyuap steak-nya.

Jericho hanya mengunyah steak-nya hingga ia menelannya. Baru satu suapan rasanya mengganjal di tenggorokannya. Jericho mengambil gelas wine-nya lalu meneguknya sedikit.

"Seperti yang kau tahu ...."

Hazel tersenyum tipis, ia melehap spaghetti-nya lalu mengangguk. "Lalu ... bagaimana denganku?"

Gerakan Jericho langsung terhenti. Lelaki itu terdiam untuk beberapa saat, tatapannya terpaku pada makanannya. Hingga Jericho mengerjapkan matanya, ia menatap mata Hazel yang berada di hadapannya.

Jericho meletakkan garpu dan pisaunya di samping piring. "Bagaimana denganmu dan Samuel?"

Dahi Hazel mengerut dalam. "Aku sudah mengatakannya padamu. Kedua orang tua kami menginginkan pernikahan."

Jericho mengedipkan matanya beberapa kali. Lelaki itu lalu menurunkan tatapannya ke steak sementara satu tangannya memegang gelas wine yang masih berada di atas meja.

"Menikahlah dengannya kalau begitu."

"A-apa?!" Hazel hampir tersedak ketika mendengar ucapan Jericho.

Perempuan itu langsung meneguk wine-nya kemudian kembali menatap Jericho dengan tatapan tak percaya. "Kau bercanda?"

Jericho kembali menatap Hazel dengan tatapan dalamnya. Lelaki itu menggeleng. "Aku tidak bisa melarangmu menikah dengannya."

Mata Hazel menyipit, mendadak ia seperti kehilangan kata-kata. "Tapi—kenap?!"

"Aku tidak bisa."

Hazel terdiam, menatap Jericho dengan tatapan kecewa sekaligus tak percaya. Beberapa kali Hazel mengedipkan matanya.
"Kau bercanda Jericho."

"Aku serius Hazel. Jika memang itu yang terbaik untukmu."

Hazel mendengus keras, nafsu makannya hilang. Ia meletakkan garpu di sisi piringnya.
"Itu tidak seperti yang aku bayangkan."

Jericho terdiam. Sementara satu tangannya yang berada di pangkuannya mengepal.
"Dia hamil."

Ucapan Jericho bersamaan dengan suara deringan ponsel Hazel. Hazel yang membeku langsung mengerjapkan matanya, ia mengambil ponselnya dan langsung mengangkat panggilan tersebut tanpa melihatnya.

"Halo," Ujar Hazel sementara matanya masih menatap Jericho dengan nanar.

"Aku sedang makan siang," ujar Hazel dengan suara tercekat.

"Baiklah. Sebentar lagi aku kesana."

Lalu panggilan terputus, begitupun tatapan Hazel yang langsung beralih ke tasnya sambil memasukkan ponselnya. Hazel berusaha menguasai dirinya, mengingatkan dirinya untuk terus bernapas meskipun tangannya gemetar ketika menutup tasnya. Dengan tatapan dingin Hazel kembali menatap Jericho.

"Aku pergi dulu. Jase sudah menungguku untuk pemotretan selanjutnya." Tanpa menunggu persetujuan dari Jericho, Hazel langsung beranjak berdiri dan dengan langkah cepat perempuan itu meninggalkan Jericho sendirian.

Jericho mengetatkan rahangnya. Ia menunduk dalam sambil memejamkan matanya berusaha untuk tidak mengejar Hazel.

***

Hingga pemotretan usai, Hazel tidak sedikitpun menunjukkan kegelisahannya. Ia bersikap seakan tidak terjadi apapun, bagaimanapun ia harus profesional.

Jase langsung menghampirinya ketika pemotretan usai, ia memakaikan mantel untuk menutupi tubuh Hazel karena busana yang Hazel kenakan cukup terbuka. "Mrs. Kneiling menghubungiku tadi, ia bilang kau harus-"

"Aku ingin langsung pulang."

Langkah Jase terhenti.

"Ke tempatku." Lanjut Hazel dengan lirikannya yang dingin.

Jase yang melihat Hazel sangat berbeda dari sebelumnya hanya bisa mengangguk.

"Baiklah, akan ku beritahu Mrs. Kneiling nanti," Ujarnya sementara Hazel melangkah seolah tak peduli.

Sesampainya di apartment, Hazel langsung masuk ke kamarnya sementara Jase terdiam bingung di ruang santai. Ia meletakkan tas-nya begitu saja di atas sofa. Lalu Jase mengambil ponselnya dari saku celana untuk menghubungi seseorang.

"Samuel, kau sedang sibuk?" Jase menatap sekitar ruangan dengan gelisah.

"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi dengan Hazel," Ujar Jase lalu menggigit bibir bagian dalamnya.

"Baiklah. Aku tunggu." Lalu panggilan pun berakhir.

Jase menelan salivanya, ia duduk di sofa sambil menghembuskan napas dalam. Serumit apapun masalah Hazel, jika perempuan itu masih bisa mengatasinya, Hazel pasti tidak akan memusingkannya, atau paling parah perempuan itu hanya akan mengeluh sepanjang waktu. Namun kali ini sangat berbeda. Dia bukan Hazel yang Jase kenal.

Mr. Wrong✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang