Revisi
••••••••••••AULA yang sudah di hias oleh beberapa pernak-pernik yang di lakukan oleh anggota Osis terlihat sangat mengagumkan.
Aku menatap deretan kursi yang sedang di rapihkan. Merasa terkejut dengan tepukan singkat di bahuku.
"Kemarin kamu pulang sama Aldi?" Tanya Humaira membuat aku mengangguk mengiyakan.
"Serius?" Timpal Salsa dengan wajah yang cukup terkejut.
"Kamu punya hubungan ya sama Aldi?" Ia bersugesti liar, membuat aku tak segan untuk memukul pelan kepalanya itu menggunakan bolpoin.
Salsa meringis pelan, menatapku dengan pandangan sebal.
"Innaya sama Ainun mana?" Aku menatap mereka dengan pandangan bertanya. Dimana coba mereka?
"Paling kesiangan lagi," timpal Humaira.
"Ra? Kamu tahu saat Innaya dan Ainun telat terus kamu bacaain mereka Yaasin?-" Ia mengangguk.
"Mereka kayaknya sedikit tersinggung Ra," lanjutku membuat ia terdiam.
"Tapikan aku becanda Sha," belanya.
Sebenarnya tidak salah juga si, mungkin niat Humaira hanya bercanda. Tapi kita tidak tahu keadaan hati seseorang yang kita bercandaikan? Siapa tahu dia sedang sensitif?
"Iya, tapi lain kali sebaiknya kamu nggak usah komen kalo mereka kesiangan lagi ya? Kan mereka suka bilang jalanannya macet," ia menghela nafas mendengar ucapanku, lalu setelah itu mengangguk.
"Kalian pada ngirim pertanyaan nggak untuk yang bakal mentoring nanti?" Tanya Salsa mengalihkan pembicaraan.
"Emang ada?" Humaira menimpali.
"Iya, tadi Osis baru aja ngambilin kertasnya,"
"Sha? Bikin pertanyaan yuk?" Ucapnya membuat aku menggeleng.
Untuk apa? Aku tipe orang yang malas untuk bertanya.
"Ih! Siapa tahu kakak mentoringnya cowok dan jadi imam di antara kita," balasnya.
"Maksudnya imam shalat kan Ra?" Tanya Salsa
"Iyalah!"
"Kamu jenazahnya?" Ucapan Salsa membuat tawaku pecah.
Aku mendengar ketua OSIS yang meminta kami untuk segera berkumpul, menduduki kursi yang telah di sediakan.
"Ra? Sal? Aku ke kamar mandi bentar ya?" Izinku berlalu dari mereka sebelum mereka mengiyakan.
Aku menelusuri koridor untuk kembali ke Aula. Sampai tersentak dengan keberadaan seseorang yang tengah menatapku sambil tersenyum.
"Ngapain?" Tanyaku tanpa menatapnya.
"Cie udah perhatian," ia kembali menggodaku.
"Aldi?"
"Kenapa?"
"Aku ingin kamu berhenti," ucapanku membuat ia menegakan tubuhnya, yang tadi ia senderkan pada tihang koridor.
"Makasudnya?"
"Jangan bertingkah selayaknya kamu memiliki rasa Al, aku belum siap untuk jatuh cinta," ucapku tanpa menatapnya.
"Aku mencintai kamu Alesha," Pernyataan yang aku anggap tidak seharusnya singgah itu akhirnya terlontar.
Deg!
Dadaku bergemuruh hebat. Bahkan tubuhku sudah terasa panas. Di tambah degupan jantung yang terpompa dengan keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]
Teen FictionBagaimana jika melihat cinta pertama pergi tanpa mengucapkan sebuah salam perpisahan? Menciptakan luka dan duka bersamaan. Sampai di hadirkan dengan seseorang yang mampu kembali membuat kamu percaya adanya cinta. Namun, saat benar-benar di...