05 : Kecewa

1.7K 150 2
                                    

Revisi
••••••••••••

SAWAH kali ini terasa berbeda. Dua tahun ini, hanya ada aku yang masih setia menemani lenggokan padi yang tertiup angin.

"Sha! Lagi apa si?" Aku menoleh menatap satu pasang mata yang tengah menatapku sebal, sambil membawa sapu di tangannya.

"Zakira, hari ini kan bagian piket kamu, udah deh mending nyapu aja dengan tenang," ia mempoutkan bibirnya kesal mendengar ucapanku.

"Kamu mah! Ima aja kalo lagi piket sering kamu bantuin," ia kembali tak ingin kalah denganku.

"Karena Ima baik, nggak kayak kamu, ngajak ribut terus," ia hampir melayangkan sapunya padaku namun terhenti saat ucapan seseorang terlontar,

"Jangan di lempar atuh Teh, nanti patah dong,"

"Itu coba kamu liat, Teteh kesayangan kamu itu. Ih ngeselin banget. Harus banyak-banyak istigfar aku mah," aku menatap Farhah yang sedang mentautkan kedua alisnya. Merasa tidak paham dengan jalan pikir kami mungkin.

Kali ini, Madrasah Al-Iman adalah rumah kedua ternyaman bagiku. Madrasah yang selalu membuat aku melupakan kesedihan tentang ayah. Tepatnya bukan melupakan, tapi menghentikan sejenak.

Aku sudah lama mengaji di sini, dari sebelum SD mungkin.

Terlihat tak biasakan?
Anak SMA zaman sekarang itu sudah banyak yang meninggalkan rutinitas harian ini, mereka bilang 'buat apa masih belajar ngaji? Kan udah kenyang belajar ngaji waktu kecil,'

Atau tak jarang mereka akan melontarkan, 'aku sibuk, nggak punya waktu. Cape juga udah belajar seharian di sekolah,'

Tapi coba fikirkan, jika Allah yang mengatakan bahwa Ia sibuk untuk mengurus segala urusan, dan tidak ada waktu untuk meladeni hamba-Nya yang tidak pernah bersyukur.

Ayolah! Allah saja selalu ada waktu untuk kita. Nggak malu datang cuma pas membutuhkan sesuatu doang?

Saat bahagia, lupa bersyukur.
Saat banyak luka, doanya seperti ini 'Ya Allah hamba salah apa?'

Astagfirullah Haladzim.

Bahkan membaca satu kalimat di Al-Qur'an pun enggan. Tapi cita-cita ingin masuk surga. Padahal, bagaimana dekat dengan Surga-Nya kalo seperti itu?

Naudzubilllah Himindzalik.

"Zakira! Diem deh, ganggu ketenangan banget," aku mendengar suara menggelegar dari dalam madrasah.

"Nazha! Ngomongnya pelan-pelan aja!" Zakira menimpali tak kalah berteriak.

Bagaimana aku tenang jika kelakuan sahabat-sahabatku seperti ini?

"Kenapa si? Seru banget," timpal Ima yang sepertinya baru mengambil air untuk mengelap kaca. Dia itu memang kelewatan baik, padahal jadwal piketnya lusa.

"Seru? Matamu!" Nazha keluar sambil berkacak pinggang menatap Zakira.

"Ma, bisa nggak si saat pembagian akhlak Zakira kamu bawa? Setidaknya dia nggak secerewet ini," Aku terkekeh mendengar ucapan Nazha. Sedangkan Ima hanya menatapnya sambil tertawa.

Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang