Revisi
••••••••••••
AKU mengurus keberhentianku untuk mengajar sebagai dosen. Bahkan Humaira juga sama, apalagi keadaannya yang sedang mengandung, yang membuat Kak Andra menjadi over protektif. Dan akhirnya, kedua laki-laki yang katanya bersahabat itu malah meminta kami untuk berhenti mengajar.
"Saya ingin kamu menjadi madrasah terbaik untuk anak-anak kita nanti Sha, mau ya?"
Dengar, suamiku malah mengatakannya dengan begitu lembut. Meski sedikit terpaksa, tetap saja aku dan Humaira harus mendengarkan ucapan mereka.
"Aku sebenernya nggak mau berhenti Sha, apalagi kan, dengan pekerjaan ini kita punya waktu luang berdua." Humaira mengerucutkan bibirnya sambil sedikit meremas map yang berisi surat pengunduran diri kami.
"Kak Andra khawatir sama kamu Ra, apalagi kamu lagi ngandung anak pertama kalian."
Kami berjalan menuju kantin, dan terduduk tempat biasa, sebagai tanda perpisahan dengan kampus ini. Ah, rasanya masih belum sanggup.
"Kamu beli obat sakit kepala?" aku tersentak saat Humaira memergokiku sedang menggenggam obat.
"Iya, akhir-akhir ini aku sering pusing. Mungkin kecapean kali ya?" balasku membuat ia tersenyum.
"Jangan terlalu memikirkan hal yang gak seharusnya kamu fikirkan Sha."
"Aku nggak mikirin hal yang aneh-aneh kok,"
"Kamu fikir aku nggak tahu pertemuan kamu sama Innaya dua minggu lalu Sha?" aku terdiam sambil mencari celah agar tidak masuk ke dalam obrolan itu. Lagian, menurutku tidak ada yang harus di bahas lagi tentang itu.
"Kamu mau pulang sekarang Ra?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Aku udah bilangkan Sha? Kita sama Innaya itu udah berakhir. Kita nggak akan pernah bisa kayak dulu lagi. Kayak yang kamu bilang waktu itu, kaca yang pecah, jika di tata ulang, nggak akan bisa memantulkan bayangan yang sempurna,"
"Sama kayak kita Sha, meskipun kita bersama, kecil kemungkinan kita bisa sehangat dulu. Lupain dia, jangan biarin hati kamu terus-terusan merasa sakit." aku terdiam mencoba mencerna ucapannya.
"Ra-"
"Aku nggak mau denger pembelaan dari kamu Sha. Coba sekali aja kamu fikirin hati kamu. Mempedulikan mereka itu nggak ada gunanya. Semua kepedulian kamu akan di anggap kebencian. Mereka nggak akan pernah suka dengan apapun hal yang kamu lakukan.".
"Aku nggak bisa Ra, mereka tetap sahabat kita. Bagaimana aku bisa lupa Ra? Mereka pernah menjadi alasan aku untuk tertawa. Mereka pernah kasih aku kesempatan untuk merasakan hangatnya persahabatan."
"Mereka mungkin sahabat kamu. Tapi bukan sahabat aku. Sha, kamu fikir deh. Nggak akan pernah ada sahabat membenci sahabatnya ssndiri.".
Tut....
Pandangan kami beralih pada benda pipih di hadapanku. "Siapa?" tanya Humaira.
"Kak Zulfan,"
Lalu dengan sigap, aku menjawab panggilan itu.
"Assalamualaikum, Sha? Sudah selesai?"
Aku menjawab salamanya terlebuh dahulu, lalu berkata, "Sudah,"
"Saya mau pulang sebentar, ada berkas yang tertinggal. Kalo sudah selesai, saya tunggu kamu di depan kampus."
"Iya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]
Teen FictionBagaimana jika melihat cinta pertama pergi tanpa mengucapkan sebuah salam perpisahan? Menciptakan luka dan duka bersamaan. Sampai di hadirkan dengan seseorang yang mampu kembali membuat kamu percaya adanya cinta. Namun, saat benar-benar di...