14 : Akad

1.8K 142 0
                                    

Revisi
••••••••••••

AKU meremas tanganku gugup. Menggigit bibir sambil mengembuskan nafas dalam. Merasakan detak jantung yang semakin menggila.

"Sha, tenang. Gak usah gugup gitu," ucap Humaira sambil mengenggam tanganku. Aku menatapnya sambil menipiskan senyuman.

"Jadi, calon suami kamu laki-laki yang mentoring dari Kairo dulu?" tanya Salsa sambil menatap deretan make-up di atas meja kaca riasku.

"Belum tentu Sal," balasku.

"Tapi kayaknya iya deh Sha, aku hafal banget mukanya." aku menghela nafas mendengar ucapan Humaira yang begitu keukeuh.

Setelah itu, kami langsung terdengar saat suara lembut lantunan Surah Ar-Rahman terdengar menggema.

Jantungku bergemuruh hebat, inikah rasanya indah dari tali suci pernikahan?

Saat mendengar kata sakral yang dia ucapakan, membuat tubuhku melemas. Langit seolah bergetar, menghantarkan aku pada status yang berbeda. Bumi seolah ikut tertunduk, merasakan beban yang akan di pikul Kak Zulfan dalam membimbingku nanti. Entah apa yang harus aku ekspresikan, bahagia atau duka?

Air di pelupuk mataku keluar begitu saja, membiarkan ia membasahi niqab putih yang aku kenakan. Malaikat ikut bertasbih mendengar kata 'sah' yang sangat sakral di dalam kehidupan.

"Sha? Kamu nangis?" aku menunduk saat Humaira melihat ekspresiku.

"Sha, kenapa?" tanyanya lagi sambil terduduk tepat di sampingku, di ikuti oleh Salsa yang sama-sama merasakan khawatir.

"A--aku ingin Ayah," kata yang aku lontarkan mampu membuat mereka terdiam.

"S-seharusnya bukan A Naufal yang menjabat tangan Kak Zulfan... Hiks... Seharusnya Ayah yang melepaskan kepercayaan sepenuhnya atasku Ra," ucapku sambil terisak.

Mereka hanya terdiam sambil mengelus punggungku. Merasa serba salah untuk membalas apa yang aku ucapakan. Merasa tidak mengerti juga harus membalas apa, mungkin.

"B-boleh tidak aku marah Ra? Sal? Saat orang lain di dampingi ayahnya, aku malah di dampingi kakakku? Saat kakakku merasakan melepas masa lajangnya di temani ayah, dan aku hanya sendiri?" aku terus berkata tanpa ingin di balas. Mungkin, aku hanya ingin menyampaikan sesuatu yang sampai saat ini belum bisa aku terima.

Aku kembali tergugu, merasakan sakit saat kembali memutarkan kejadian enam tahun lalu. Di mana sosok itu benar-benar pergi dan tidak akan kembali.

Harapanku pupus untuk di dampingi saat wisuda, begitupun acara sakral ini. Seharusnya, Kak Zulfan mengenggam tangan ayah. Membuat ayah percaya agar bisa melepasku. Bukan A Naufal.

"Sha, Kak Zulfan datang," ucap Salsa saat mendengar suara ketukan pintu. Aku tetap diam sambil terisak. Aku merindukan ayah, sangat.

"Aku sama Humaira keluar ya Sha? Kamu jangan nangis," lanjutnya. Dan setelah itu, aku mendengar suara derap kaki yang menjauh. Mungkin mereka sudah pergi.

Aku menekan dadaku agar rasa sakitnya tak begitu terasa. Memukul-mukulnya, agar kembali tidak merasakan luka. Sampai tersentak dengan genggaman seseorang.

"Jangan seperti ini," ucapnya sambil berusaha menghentikan pukulan tanganku yang tertutupi sarung tangan berwarna senada dengan gaun yang aku kenakan.

Aku mengidahkan ucapannya, mencoba memberontak saat ia semakin mengeratkan genggamannya. Ingin memukul dadaku kembali agar rasa sakitnya tak begitu terasa.

Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang