Revisi
••••••••••••
HANYA menggigit bibir menahan isak yang mampu aku lakukan. Masih menunduk dengan mata yang setia menatap sepasang sepatu di hadapanku.
"Kenapa menangis? Bukankah ini yang kamu inginkan?" aku mencoba mendongkak, menatap pasang mata yang kali ini benar-benar membuat aku terluka.
Aku memalingkan wajah tanpa menjawab apapun, mencoba menahan isakan dengan mengigit bibir. Ia mendekat, mengunci pergerakanku dengan tangannya.
Tak lama, ia menyentuh bibirku yang tertutupi niqab. "Berhenti mengigit bibir Sha, nanti berdarah." ucapnya membuat aku menunduk.
"Ayok!" ia mengajakku seakan tidak terjadi apapun, padahal ia jelas tahu luka itu nyata aku rasakan. Bukan salahnya, tapi salahku.
Aku tak sedikit pun berani untuk sekedar mengangkat wajah, bagaimana aku bisa terlihat bahagia saat suamiku akan berdampingan dengan yang lain? Tapi ini keputusanku.
"Jangan menunduk Sha, lihat orang yang sedang berdiri di atas pelaminan itu." aku menatap Kak Zulfan tak percaya. Aku tahu, aku salah. Tapi ini sangat menyakitkan.
Dengan ragu, aku melepaskan genggaman Kak Zulfan. Tak enak rasanya bergenggaman dengan laki-laki yang statusnya bukan hanya sebagai suamiku. Dan dia atas pelaminan sana, mungkin saja Humaira tengah menatapku kecewa.
Aku memberanikan diri untuk menatap Humaira. Tubuhku lemas, bahkan rasanya aku tak sanggup memijakan kaki di atas tanah. Dadaku rasanya sesak, mencoba menahan keseimbangan tubuh pada meja yang berada di sampingku.
Aku kembali menatap ke arah Kak Zulfan dengan pandangan berkaca, ia hanya tersenyum tipis. Kembali menatapku dengan teduh. "Bahagia saya hanya bersama kamu,"
oOo
"Tindakan lo gila tahu Sha!" aku mengigit bibir mendengar itu. Menatap Kak Zulfan yang tengah menatap tajam, seseorang yang baru saja mengatakan itu padaku.
"Santai Fan. Gue cuma pengen kasih tahu aja sama istri lo ini. Mendua dan di duakan itu bukan hal yang mudah. Ikhlas mah dari mulut aja, hati lo selalu mengatakan nggak mau berbagi Zulfan kan Sha?" aku hanya menunduk menanggapinya.
Kak Zulfan mengenggam tanganku lembut, "Jangan dengarkan Andra, saya tahu niat kamu baik." ucapan Kak Zulfan mampu membuat aku medongkak menatap ke arahnya.
"Ra? Apa kamu bahagia?" pertanyaanku banyak mengundang mata orang-orang yang berada di dalam kamar Humaira.
"Dari pada aku harus bahagia di atas luka sahabatku sendirikan? Jujur Sha, aku kecewa banget sama kamu. Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi," balas Humaira membuat aku menahan tangis.
"Ra, tapi niat Alesha baik. Dia nggak mau kamu nanggung malu," balas Salsa saat melihat mataku menyiratkan luka.
"Tapi dia gila mau ngorbanin suaminya sendiri Sal!" suara Humaira naik satu oktaf. Kak Andra menggenggam tangannya, menatap Huamira dengan lembut, lalu berkata, "Mai?"
"Maaf, a-aku salah Ra,"
"Emang!" balas Humaira acuh. Ia langsung beranjak dari duduknya membuat aku menunduk merasa bersalah. Namun, setelah itu aku malah merasakan seseorang memelukku sambil menangis tersedu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]
Fiksi RemajaBagaimana jika melihat cinta pertama pergi tanpa mengucapkan sebuah salam perpisahan? Menciptakan luka dan duka bersamaan. Sampai di hadirkan dengan seseorang yang mampu kembali membuat kamu percaya adanya cinta. Namun, saat benar-benar di...