29 : Bahagia atau duka?

1.4K 116 3
                                    

Revisi
•••••••••••

SUDAH aku ikhlaskan, karena mungkin ini yang terbaik. Sekuat apapun untuk di pertahankan, jika Allah tidak meridhoi, tidak akan terjadi.

Aku tidak akan pernah berpendapat bahwa mengenal mereka adalah sebuah kesalahan, karena sampai detik ini pun. Mereka tetap menjadi sahabat, bagiku.

Aku dengan mereka memang tidak memiliki ikatan darah atau keluarga, tapi, aku rasa saat memutuskan untuk bahagia dan berduka bersama, hatiku sudah terikat. Aku tidak pernah bisa membenci. Karena, bagaimana aku bisa membenci, seseorang yang pernah membuat aku merasakan hangatnya persahabatan?

Kali ini aku tekankan, mereka tidak pernah salah. Karena di sini, aku yang salah. Bayangkan saja, mana ada seseorang yang mau di nasihati lewat sindiran halus? Masih ingat tidak ketika aku sedang membahas soal zina berpacaran, dan di sana ada Innaya?

Aku yang salah, seharusnya aku bisa merangkul mereka, seharusnya aku mampu menjadi pendengar terbaik untuk mereka. Sudahlah, sekeras apapun aku mencoba berdamai, jika endingnya Allah tetap tidak meridhoi, mungkin ini yang terbaik.

"Ada ibu," aku tersentak saat seseorang baru saja menghampiriku. Aku mematikan kompor sambil mengangkat ayam yang baru matang.

"Ibu?" tanyaku memastikan.

"Iya, ada A Naufal, Teh Ulfa dan Ay-" aku menatap tajam ke arahnya. Tidak suka jika seandainya dia akan menyebutkan panggilan itu untuk orang lain.

"Sha?"

"Dia bukan ayahku Kak," balasku.

"Dia ayah sambung untuk kamu,"

"Dia bukan ayahku!" suaraku naik satu oktaf, dan ia malah tersenyum membuat aku sedikit bersalah telah meninggikan suara.

Aku menunduk sambil merasakan desakan dari pelupuk mataku. "Sha?" ia mengangkat daguku, membuat iris mata kami saling bertemu.

"Dia bukan ayahku, tolong jangan pernah sisipkan panggilan itu untuk siapapun, ayahku hanya satu." pertahananku luntur, air mata itu jatuh tak tahu tempat.

Bayangkan, bagaimana jika panggilan untuk cinta pertama di sisipkan pada orang lain. Mungkin ada yang pendapat sama seperti Kak Zulfan, karena dia tetap ayah sambung untukku. Perannya hampir sama dengan ayah. Tapi, tidak untukku.

Perlu aku tegaskan, ayahku hanya satu. Sekeras apapun mereka mengatakan bahwa, Om Firman adalah ayah sambung untukku. Tapi aku tidak pernah bisa memanggilnya dengan panggilan itu.

"Maaf," ia menghapus air mataku lembut, mencium keningku dan langsung menarik tubuhku ke dalam dekapannya.

"Seharusnya saya tahu perasaan kamu," ucapnya lagi sambil mengelus puncuk kepalaku. Aku tak membalas, hanya mempererat dekapan itu. Ayah, aku rindu.

"Ekhem!" Aku refleks mendorong tubuh Kak Zulfan, entah ini yang ke berapa kalinya aku mendorong tubuh itu saat di kagetkan oleh seseorang.

"Di tungguin di depan, malah asik pacaran." aku sedikit salah tingkah dengan ucapan A Naufal, apalagi dia melihat aku yang sedang berpelukan. Duh, malunya.

Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang