Revisi
••••••••••••AKU mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan dengan cahaya ruangan yang bernuansa putih ini. Bau obat-obatan menyeruak memasuki indra penciumanku.
"Sha?"
"Aku dimana?" Aku menatap laki-laki itu sambil sesekali memijat pelipisku, karena rasa pusingnya masih menyerang kepalaku.
"Salah satu ruangan yang ada di rumah sakit," kali ini balasannya hanya aku jawab dengan helaan nafas.
"Kenapa kamu di sini?" sekarang, berganti ia yang menghela nafas sambil menatapku, membuat aku kembali tertunduk.
"Seharusnya lo bersyukur, coba kalo nggak ada gue? Siapa yang bakal ngangkat lo ke sini?"
"Kamu yang bawa aku ke sini?" Aku kembali memastikan. Apakah kak Zulfan tidak melihatku?
"Iyalah, masa jin Aladin," balasnya membuat aku menipiskan senyuman.
"Tapi, bukannya kamu tadi langsung pulang Al?" Aldi menarik satu kursi di sampingku. Ia menariknya sedikit jauh, agar tidak terlalu dekat denganku.
"Gue nggak akan tinggal diam saat lo nggak baik-baik aja Lyn," aku tersenyum getir mendengarnya.
"Kenapa harus kamu Al?-" ia menatapku dengan satu alis terangkat.
"Kenapa harus selalu kamu yang membantu aku saat aku membutuhkan?"
"Kebetulan kali, setidaknya gue bisa berada di dekat lo walau tanpa status yang gue inginkan," aku menoleh ke arahnya.
"Aldi," aku memanggilnya menandakan jika tidak suka dengan ucapannya.
"Iya maaf... Kata dokter, lo harus ngejalanin beberapa tes. Tadi dokternya bilang dia belum tahu keadaan lo yang sebenarnya." aku menggeleng membuat ia menatapku tajam.
"Aku nggak mau Al, aku baik-baik aja,"
"Hati lo nggak baik, dan sekarang lo mau biarin fisik lo juga sakit?" aku sedikit tertegun dengan ucapannya. Mambuat mataku kembali berkaca saat mengingat apa yang terjadi sebelum aku pingsan tadi.
"Assalamualaikum, maaf Ibu bagaimana keadaannya?" aku menatap perempuan berstelan jas dokter itu sambil mengangguk kecil, sambil mengatakan, "Alhamdulillah, sedikit membaik, hanya saja pusingnya masih terasa dok,"
"Baik, sebelumnya ada tes yang harus Ibu lakukan agar kami bisa mengetahui apa penyakit Ibu." ucapnya sambil menatapku tersenyum. "Mari,"
Aku tertegun, sambil menatap alat tes yang di berikan dokter padaku. Aku menatap benda itu dan dokter di depanku secara bergantian.
"Maaf, dok?"
"Kenapa? Kamu sudah tahu cara tesnya kan?" aku terdiam sambil menatap dokter itu yang menepuk pundakku sambil tersenyum hangat.
***
Setelah 5 menit menjalankan tes itu, akhirnya aku keluar dengan ragu. Masih menggenggam alat di tanganku tanpa berniat untuk melihatnya sama sekali. Jantungku berdetak cepat, merasakan gelisah yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]
Teen FictionBagaimana jika melihat cinta pertama pergi tanpa mengucapkan sebuah salam perpisahan? Menciptakan luka dan duka bersamaan. Sampai di hadirkan dengan seseorang yang mampu kembali membuat kamu percaya adanya cinta. Namun, saat benar-benar di...