06 : Kecewa [2]

1.4K 133 1
                                    

Revisi
••••••••••••

TETES demi tetes, perlahan air di pelupuk mataku keluar begitu saja. Angin dari arah barat kembali berhembus lembut. Menerbangkan beberapa dedaunan dan menjatuhkan beberapa helai yang sudah rapuh.

"Kamu kalo ada masalah cerita aja sama aku Sha," aku menoleh, menatap Humaira yang tengah memerhatikanku.

"Ra, kamu pernah berada di posisi di kecewakan oleh keadaan nggak? Pernah berada di posisi yang nggak pernah kamu inginkan?-"

"Atau berpikir bahwa semua ini tidak adil jika hanya kita yang menjalani?"

"Kamu tahu Sha? Kadang kita merasa sesuatu itu nggak baik, padahal menurut Allah itu memang yang terbaik." Humaira mengelus punggungku lembut.

"Ra, aku sayang ayah," ia tersenyum saat mendengar kata itu terlontar dari mulutku.

"Ibu memang tidak pernah menjelaskan kejadian dua bulan lalu, tapi aku mengerti kemana arah pembicaraan laki-laki itu," ujarku.

Sudah dua bulan semenjak laki-laki yang tidak aku kenal itu bertamu di rumah. Mengatakan hal sakral yang sampai detik ini tidak aku inginkan.

"Sha, aku tahu ini berat untuk kamu. Tapi ingat ya sama Firman Allah, 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya' (QS. Al-Baqarah: 286).

Aku terdiam. Percuma aku menjelaskan sedetail apapun, mereka tidak akan mengerti. Karena mereka bukan aku.

"Udah ya sedih-sedihannya, seharusnyakan kita senang udah nyelesain UN terkahir,-"

"Ya Allah, aku bersyukur banget. Setidaknya nggak bakal ketemu si-X dan si-Y lagi," aku tersenyum mendengar celotehan Humaira.

"Salsa, Innaya sama Ainun di mana?"

"Lagi di kantin, mau ke kantin?" Aku menggeleng pelan, aku terlalu nyaman duduk di taman belakang sekolah ini.

"Sha, kok aku agak merasa aneh sama sikap Innaya sama Ainun ya? Kamu ngerasa nggak si mereka selalu menghindar dari kita? Kalo lagi kumpul berlima pun mereka keliatannya nggak mau banget,"

Aku terdiam, mencerna setiap kalimat yang di lontarkan Humaira. Jadi, bukan hanya aku yang merasa ada yang berbeda dengan mereka?

"Mungkin mereka lagi nggak enak hati aja, aku juga sering gitukan kalo lagi bad mood," aku masih mencoba berfikir positif. Karena setahuku, Innaya tidak pernah serius jika sedang marah.

Aku tersentak saat secangkir coklat panas berada tepat di depanku.

"Gue tahu lo lagi sedih, minum aja," ia kembali menyodorkannya. Setelah hampir satu semester saling mengenal, ternyata Aldi bisa tahu hal yang paling aku suka.

"Makasih," ucapku pelan sambil mengambil cangkir di dalam genggamannya.

"Alesha, ketika di kecewakan oleh keadaan jangan pernah berfikir bahwa itu adalah hukuman, karena semuanya hanya sebuah ketetapan yang telah Tuhan ciptakan," aku melirinya sebentar, jika ia sudah memanggilku dengan panggilan 'Alesha' berarti dia memang sedang berbicara serius.

"Makasih," aku tersenyum tipis tanpa menatapnya.

"Udah ini langsung pulang?" Ia kembali bertanya, membuat aku dan Humaira saling bertukar pandang.

"Iya,"

"Mau nemenin gue dulu nggak?"

"Kemana?"

"Ikut aja, boleh ajak temen lo juga," ujarnya sambil melirik Humaira sekilas.

"Gimana Ra? Mau nggak?" Aku meminta persetujuan darinya.

Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang