Revisi
••••••••••••KEDATANGAN Kak Zulfan di sambut hangat di rumah Umi. Sengaja, sejak kejadian itu aku tidak pernah lagi menemui Kak Zulfan di rumah sakit. Hanya ke sana saat tahu ia sedang tidur, tak ingin mendengar hal yang bisa membuat aku menangis lagi.
"Welcome back to my brother house," ucap Atifa membuat Kak Zulfan tersenyum tipis.
Umi membawa Kak Zulfan pergi ke kamar kami. Kali ini aku dan Kak Zulfan memutuskan untuk tinggal di rumah Umi terlebih dahulu. Karena tidak mungkin membawa Kak Zulfan kerumah kami jika keadaannya seperti ini.
Ia sedikit tersentak saat menatap beberapa barangku tertata di kamarnya. "Ini barang-barang siapa Umi?"
"Istri kamu," balas Umi sambil menatapku tersenyum.
"Syntia?"
Deg!
"Tapikan kami belum menikah." aku kembali tersenyum getir mendengarnya.
"Bukan Syntia, tapi Alesha."
"Alesha?" tanyanya sambil menatapku dengan raut wajah yang tak bisa aku mengerti.
"Dia bukan istri saya," ucapnya mambuat hatiku kembali teriris.
"Terserah kamu akan mengganggap Alesha apa, tapi dia akan tinggal di kamar ini dengan kamu." Kak Zulfan menatap Umi tanda ia akan segera memprotes.
"Saya tidak bisa berduaan dengan perempuan yang bahkan tidak saya kenali Umi. Saya tidak ingin di-"
"Aku akan keluar," potongku sambil hendak mengambil pakaian di dalam lemari. Aku mulai menata baju-bajuku di dalam koper.
"Tunggu." tanganku terhenti, aku menatap Kak Zulfan yang tengah berdiri di sampingku. Aku menatapnya dengan pandangan penuh luka. Jadi ini rasanya mencintai tapi tak pernah di anggap ada?
"Kamu tidur di kamar Atifa, biarkan barang-barangnya tetap di sini," ucapnya membuat senyuman tipis itu mengembang di wajahku. Setidaknya aku berusaha untuk tetap berada di sampingnya kan?
oOo
Paginya, aku sedang bermurojaah di ruang tamu bersama Atifa. Sedangkan Kak Zulfan sudah memaksa untuk shalat berjamaah di masjid. Katanya, jika ia saja tidak bisa konsisten shalat berjamaah di masjid, bagaimana ia bisa konsisten dalam membimbing istrinya?
Ah, andai dia tahu jika aku adalah istrinya. Rasanya sangat sulit melihat ia yang masih nenatapku seperti orang asing.
"Atifa," panggilku setelah menyelesaikan murojaah itu. Atifa menoleh, menatapku seakan bertanya kenapa.
"Sini coba," ucapku sambil menarik tangannya untuk menyentuh permukaan perutku. Detik selanjutnya, ia menatapku sambil mengembangkan senyuman.
"Teteh? I... itu detak jantung bayinya?" aku mengangguk, saat tahajud tadi, aku baru merasakan sesuatu yang berdetak di dalam rahimku. Rasanya bagaimana? Sungguh tak bisa di tuangkan dalam bentuk sebuah tulisan.
"Ma Syaa Allah. Eh... Teteh, kok detak jantungnya kayak dua ya?" tanyanya membuat aku terkekeh.
"Perasaan kamu aja mungkin," ucapku sambil membelai kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]
Teen FictionBagaimana jika melihat cinta pertama pergi tanpa mengucapkan sebuah salam perpisahan? Menciptakan luka dan duka bersamaan. Sampai di hadirkan dengan seseorang yang mampu kembali membuat kamu percaya adanya cinta. Namun, saat benar-benar di...