Revisi
••••••••••••AKU terusik oleh pergerakan seseorang di sampingku. Mengerjapkan mata berkali-kali sambil menyesuaikan dengan cahaya luar.
"Kak Zulfan?" panggilku sambil menegakkan tubuh. Kembali membenarkan niqab yang aku kenakan. Sepertinya tadi malam aku ketiduran.
"Mau shalat malam bersama saya?" ajaknya membuat aku mengangguk mengiyakan.
Aku langsung menuruni kasur dan berjalan dengan pelan menuju kamar mandi. Membasuh wajahku dengan air wudhu.
Aku meremas cadar yang aku genggam. Menggigit bibir gugup jika harus memperlihatkan wajahku hari ini.
Aku berjalan mondar-mandir di depan bilik kamar mandi. Aku harus bagaimana? Menampilkan wajahku? Atau tak perlu karena dia juga tidak meminta?
Akhirnya dengan ragu, aku memutuskan untuk kembali menggunakan penutup wajah. Yang berbeda, kali aku mengganti niqabnya dengan cadar.
"Udah?" tanya Kak Zulfan saat melihat aku yang baru keluar kamar mandi.
Aku beralih menatap jam dinding yang menunjukkan angka dua pas. Menghela nafas pelan, apa ia tidak lelah setelah resepsi tadi? Aku saja biasanya shalat tahajud pukul setengah empat, sekalian menunggu shalat Subuh.
Aku kembali menatap ia yang sudah berdiri menghadap kiblat. Lalu aku langsung memakaikan mukena dan berdiri di belakang shaf shalatnya.
Saat takbir di kumandangkan olehnya, aku merasa ada sesuatu yang terus bergetar di dalam jantungku. Rasanya, masih belum percaya menjadi shaf pengaamiin setiap doa yang ia panjatkan.
"Sha?" ia berbalik menghadapku saat setelah shalat itu selesai, aku hanya bisa menahan kegugupanku kali ini. Siapapun, tolong hilangkan aku!
Dengan ragu, aku mengambil tangannya. Mencium punggung tangannya lembut. Kali ini, aku merasakan hal aneh menjalar di tubuhku. Ini pertama kalinya aku menyentuh tangannya tanpa mengenakan handsock. Membiarkan kulitku dan kulitnya saling bersentuhan.
"Saya mau ke kantor nanti jam 8, sekalian mau ambil berkas ke rumah Umi. Kamu mau ikut?" aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya, tanpa berani untuk melakukan kontak langsung dengan matanya.
"Boleh?" ia tersenyum saat aku seperti meminta izin padanya.
Ia langsung keluar kamar, membuat aku menghela nafas lega. Allah, kenapa manusia es ini bisa membuat aku diam tak berkutik.
Padahal Kak Zulfan tidak banyak berbicara. Tapi anehnya, dia mampu membuat aku tersipu sendiri.
***
Aku berjalan di belakang Kak Zulfan. Menggenggam erat tali sling bag-ku, sambil terus menatap karyawan-karyawan yang tengah tersenyum menyambut Kak Zulfan.
Jangan kalian fikir, jika kali ini Kak Zulfan tengah menggandengku dengan mesra, memperkenalkan aku sebagai istrinya di depan semua orang. Karena nyatanya, untuk sekedar menoleh memastikan aku ada saja, tidak.
"Assalamualaikum Pak Zulfan," sapa seorang perempuan yang mengenakan krudung pasmina.
"Waalaikumussalam. Laila, saya meminta agenda jadwal meeting di kirim lewat e-mail," ucap Kak Zulfan membuat aku menatap mereka dengan pandangan tak mengerti.
"Baik Pak, akan saya kirim." aku menatap perempuan bernama Laila itu sambil tersenyum tipis membalas sapaannya.
Lalu beralih menatap papan kecil yang bertuliskan Sekretaris CEO. Kak Zulfan CEO? Jangan bilang jika dia sekretaris Kak Zulfan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketetapan Cinta Dari-Nya [END]
Teen FictionBagaimana jika melihat cinta pertama pergi tanpa mengucapkan sebuah salam perpisahan? Menciptakan luka dan duka bersamaan. Sampai di hadirkan dengan seseorang yang mampu kembali membuat kamu percaya adanya cinta. Namun, saat benar-benar di...