Prolog

185K 8.1K 134
                                    

Aku tak percaya ini. Aku tak percaya bagaimana aku  bisa melupakan hari ini, hari yang begitu dinantikan oleh Mbak Velia—principal super kece di seluruh Jakarta Selatan menurut hasil polling sepihak yang diadakan oleh rekan-rekan kerjaku. Semalam dia memang menyebutkan trial murid di kelasku melalui grup Whatsapp teachers yang berujung semua guru heboh membahas aspek tampan Liam Hemsworth dan berlanjut ke bulu manja di wajah Zayn Malik. Tolong jangan salahkan Liam dan Zayn, ini murni adalah suatu pertanda bahwa tak ada seorang pun dari kami yang menganggap informasi dari Mbak Velia sebagai titah raja yang patut dicermati. Well, trial murid di preschool bisa ada lima kali dalam seminggu sehingga secara naluriah aku menganggapnya terlalu biasa.
Oke, aku butuh suatu pencerahan sekarang. Maka inilah yang aku lakukan dalam bagian terpojok supplay room yang masih terjangkau sinyal WIFI dari ruang guru, memanjat percakapan dalam grup semalam dan memastikan ulang bagian mana yang mencirikan betapa MAHAPENTING trial murid hari ini.
Apakah calon murid ini anak seleb papan atas? Atau cucu pejabat? Anak mafia asal Italia? Seorang indigo? Keturunan satu-satunya milyuner tanah air?

Err, aku ingin mengerang kesal tetapi keberadaanku harus invisible. Setidaknya hingga pukul delapan, saat briefing pagi. Aku masih punya waktu sepuluh menit untuk bersembunyi di sini.

Percakapan grup semalam tak memberikan pencerahan. Aku meraih onggokan kertas yang berada dekat kaki dan membaca lebih teliti tiap detail dalam data calon murid. Tidak secuil pun jejak yang menunjukkan anak ini ‘something’ kecuali fakta dia lahir di New York—banyak anak Indonesia yang lahir di luar negeri, coret data ini penting. Kemudian nama kedua orangtuanya. Mari gunakan Google dan temukan siapa mereka berdua.

Herdinan Andityo. Datanya ada dalam LinkedIn. Pria dengan catatan kerja dan pendidikan luar negeri. Mengesankan sekaligus TIDAK mengherankan dia bisa menyekolahkan puterinya di sini.
Beralih ke nama sang ibu, Selviana Aryani, mantan model dan sempat kuliah di Amerika. Wajahnya cantik, mempunyai garis keturunan Barat dengan hidung mancung dan wajah ramping ala Barbie. Pantas yang seperti ini lebih cepat laku daripada aku. Ish, padahal kami hanya selisih umur setahun. Kalau begini, aku jadi melemah dan mempertanyakan eksistensi Tuhan menyediakan pendonor tulang rusukku. Stop! Fokus pada siapa Selviana. Aku meneliti data pribadi Selviana yang muncul pada kolom Google dan nyaris tersedak ludah sendiri sewaktu membaca artikel dari portal berita online.

Selviana Aryani menikah dua tahun lalu. Mataku membulat menyusuri deretan kata yang tersaji dalam artikel. Bersama...

Sial!

Kelopak mataku merapat. Ini kegilaan terparah yang takdir berikan padaku saat umur tak lagi seberjaya dulu. Ketika membuka mata, aku harus mendongakkan kepala menghalau airmata yang hendak tumpah.

“Kak Sandra buruan keluar, Mbak Vel nyariin tuh.” Suara Arsee mengembalikan seluruh kesigapanku. Tanganku lekas mengusap ujung mata lalu bangkit dari balik rak penyimpanan. Arsee berdiri dekat pintu supplay room, menunggu dengan gusar.

“What the banget penampilan lo,” kataku saat melihat wajah Arsee yang biasa polos tanpa sentuhan makeup berubah seperti... err forget it.

“Ini kan cantik, Kak,” rajuk Arsee tak terima. Dia asisten guru di kelasku dan dia tahu betul betapa menyebalkan bibirku jika menilai sesuatu. Kadang tersaring dan lebih sering jebol lantas menusuk ulu hati, begitu dia menggambarkan kemampuanku mengolah kata. Junior satu ini memang kelewat seenaknya bicara, dia belum menghitung betapa keji mulut-mulut guru lain di sini.

“Siapa yang dandanin?”

“Mbak Vel. Katanya gue jadi mirip Ariana Grande dengan eyeliner ini,” jawab Arsee menggebu. Eyeliner-nya memang dibuat tebal dan meruncing khas Ariana tetapi dengan potongan rambut pendek sebahu dan poni rata malah membuatnya tampak seperti Katty Perry dalam video klip Dark Horse. Tentu Arsee lebih muda plus berwajah sangat Indonesia. Namun Katty Perry tetap lebih cantik.

“Briefing pagi masih sepuluh menit lagi, mau apa Mbak Vel manggil gue?” Aku merasa curiga.

“Lima menit lagi, Kak,” koreksi Arsee sembari mengangkat jam digital di lengan kanannya.

“Iya,” desahku yang malas mengakui bahwa lima menit di pagi hari adalah angka krusial bagi Mbak Velia.

“Lagian ngumpet di sini, ngerepotin loh,” jawab Arsee sambil menelengkan kepala. “Itu jidat juga kenapa ditekuk melulu, Kak?”

“Nggak usah bawel deh. Sana siapkan materi belajar, kita ada tambahan satu murid hari ini,” kataku agak sengit sambil dengan sengaja menepuk kepalanya menggunakan kertas data murid trial lalu pergi tanpa mempedulikan dumelan Arsee.
Mbak Vel berdiri dekat meja khusus printer saat aku masuk ke ruang guru. Guru-guru lain mengerubungi meja Elfin yang langganan menjadi koordinator gorengan dan nasi uduk. Pagi ini aku sudah sarapan di rumah dan tidak menitip makanan apapun pada Elfin. Aku berjalan lurus menuju Mbak Vel, sengaja tidak mengacuhkan keramaian rekan kerja yang heboh makan dan mengobrol.

“Kata Arsee, Mbak manggil gue.” Sekolah ini menganut paham dinamis. Kami bisa bebas menggunakan sapaan lo-gue kepada Mbak Velia. Lagipula Mbak Vel sendiri yang mendeklarasikan kebebasan itu dan berharap kedekatan antar rekan kerja selayaknya teman sendiri.

“Kelas udah di-set up untuk tambahan satu murid hari ini?” Mbak Velia bukan tipe basa-basi tapi terlalu serius memikirkan satu calon murid yang tentatif akan bergabung di sekolah benar-benar bukan style-nya. Dia tipe orang yang terdepan berkata, “Kurang pencerahan orangtuanya” setiap kali ada calon orangtua yang batal mendaftarkan anaknya. Membuat kami—para guru—tidak merasa gagal membuat seorang murid batal bergabung di sekolah. Which means, dia kepsek paling santai terhadap target pendaftaran murid baru. Bukan seperti sekarang. Aku bisa melihat kepanikan dalam dirinya dan terlalu banyak effort—bulu mata palsu jelas effort berlebihan seorang karyawan sekolah TK.

“Gue minta Arsee siapkan material belajar untuk murid trial. Hari ini nggak ada pelajaran yang menuntut bahan yang perlu request khusus. Semua masih ter-back up persediaan kelas,” jelasku. Ada sesuatu yang mengganjal di ujung lidah dan merasa butuh konfirmasi dari Mbak Velia. “Mbak, itu soal–”

“Vel, briefing cepetan. Gue mau nyiapin gaji nih,” seru Pak Revan. Selaku HR-GA admin, ucapannya tadi langsung diserbu pekikan gembira karyawan lain. Mbak Velia tersenyum sungkan padaku sebelum mengambil tempat di ujung meja guru yang berada di tengah ruangan. Dia memimpin briefing pagi. Aku harus menahan diri, nanti pasti akan ada kesempatan berbicara berdua dengan Mbak Velia. Mataku kembali menatap lembaran data murid trial. Nama si anak menjadi pemandangan pertama yang tertangkap.

Kimberly Puteri Andityo.

Seberapa spesial calon murid ini?
Ingatanku kembali menguak halaman portal berita online yang tadi aku baca. Mengapa Selviana dikabarkan menikah dua tahun lalu bersama pria itu? Mengapa bukan bersama Herdinan—ayah Kimberly?

###

07/10/2019

Aku kasih ytms versi terbaru. Yang kangen Miss fluffy bumbu ngacung ngacung ☝️☝️☝️

Happy reading Happy Happy day

%kecup becek Miss bebeklucu yang mau makan malam%

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang