21

39.7K 5.7K 154
                                    

Sudah lima belas menit sejak mobil yang dikendarai Mas Dinan meninggalkan rumahku. Jalan cipete menuju Blok M sangat ramai mengingat ini hari Sabtu. Pasti banyak muda-mudi yang ingin hangout di weekend. Aku termasuk golongan itu bukan?

Aku menggeleng. Enyahkan pikiran-pikiran kelewat batas ini. Ukur kedalamannya San, nasihat otakku.

"Mas."

"Hmm."

Aku memiringkan kepala untuk melihat mas Dinan. Kemeja baby blue dan celana jeans membuat penampilannya sepuluh tahun lebih muda, layaknya anak kuliahan. Belum lagi rambutnya yang tidak ditata rapi dengan pomed, membuat dahinya ditutupi rambut. Jemariku gatal ingin menyentuh poninya.

"Kimkim sama siapa, Mas?"

Ada jeda dua detik sebelum dia menjawab. "Di daycare."

"Loh kok di daycare?"

Mas Dinan menggaruk tepi alis kanannya dengan telunjuk. Aku suka tingkah gugupnya. Diam-diam aku merekam semua gerak-geriknya.

"Saya udah coba hubungi Murni tapi dia berhalangan menjaga Kimkim jadi saya titip dia di daycare."

"Ya nggak harus dititip ke daycare, Mas. Ajak aja bareng kita," kataku. Aku dibuat tidak habis pikir dengan pola asuh laki-laki satu ini. Kelihatan cerdas tapi selalu menyebabkan uratku tegang.

"Dan mengganggu fokus kita. Nggak, San." Mas Dinan melirikku sambil menggeleng. Memantapkan kalimatnya.

"Kita memangnya mau berbicara seserius apa sampai butuh fokus yang segitunya?"

"Masa depan." Mas Dinan mengulum bibir atas bawahnya. Indikasi dia kelepasan. Aku mulai memahami gesturnya sedikit banyak. Dia tidak melirikku sama sekali usai mengatakan dua kata yang membuat deru jantungku makin kencang.

Aku mulai bisa menetralisir jantung. Tepatnya membiasakan diri dengan detak yang berlebihan. Seandainya lalu lintas lebih padat, mungkin aku bisa kabur saat mobil berhenti saking grogi. Omong-omong soal mobil, Mas Dinan tidak sedang mengendarai benz. Malah mini suv hitam yang mengantarkan kami melenggang di jalan raya. Tunggu! Mas Dinan punya lebih dari satu mobil dong. Benz dan mini SUV ini. Tidak mungkin banget Kimkim memerlukan Benz untuk ke daycare.

Fokus, San. Singkirkan setan matre sesaat. Oke, realistis itu penting tapi bukan di saat hubungan abu-abu. Mari kembali ke Mas Dinan. Dia hanya diam selama menyetir dan membuatku gemas dengan sikapnya yang tidak menjawabku.

"Coba Mas jelaskan masa depan yang Mas maksud," pintaku.

CKIITTT!

"Sorry itu ada motor nyalip, sennya juga kebalik," jelas Mas Dinan saat mobil sudah melaju kembali.

Kali ini aku tidak mengacuhkannya. Permintaanku belum dibalas. Mobil juga mengerem mendadak, bikin kaget. Nyari kepalaku menabrak dashboard.

"San."

Aku diam.

"San."

Bukan memanggil namaku, Mas. Jelaskan masa depan itu, bathinku kesal.

"Kamu marah?" tanyanya sambil melirik sebentar.

Aku menggeleng. Aku tidak marah, tapi kesal. Sikap ini adalah bentuk protesku yang menuntut jawaban. Aku juga tidak ingin mengulang pertanyaanku.

"Aku nggak pintar soal perempuan, San. Bisa bantu aku terbuka dengan pemikiran kamu sekarang."

Aku menghela napas pasrah. Setidaknya laki-laki ini mengakui kepayahannya. "Masa depan itu," kataku lirih. Lidahku kelu mengulang pertanyaan yang menurutku menimbulkan kesan agresif.

Mas Dinan tersenyum sembari melirikku. Alhasil aku ikut tersenyum. Senyum itu seperti dampak menguap. Satu orang menguap karena ngantuk, orang yang melihat akan ikut-ikutan merasa ngantuk lalu menguap. Hanya saja senyum dan menguap punya konteks dampak yang berbeda. Dan aku terkena dampak bahagia. Ya ampun, hatiku benar-benar murahan. Dapat senyum dari pria seganteng Mas Dinan saja aku sudah terbang melayang-layang.

"Dibicarakan di mobil?" Mas Dinan bertanya penuh kesan kehati-hatian.

"Kenapa nggak?" Aku mengangkat kedua bahu dengan santai.

"Setelah makan. Gimana?"

"Boleh. Kita mau makan dimana?" Jam sudah merujuk angka setengah dua belas. Bijaknya kami makan, baru ngobrol 'masa depan' ini. Aku tidak berharap ada adegan kukuruyuuuk di tengah momen serius. Asli, meruntuhkan sesi dramatis itu nyebelin.

Mas Dinan tersenyum hingga membuat matanya membentuk bulan sabit. "Itu masalahnya. Saya belum pilih restoran."

Hah? Itu maksudnya gimana? Kami terjebak di tengah kepadatan jalan raya berbekal rencana 'lunch bareng' tanpa tujuan persisnya di mana tempat makan yang kami tuju. Aku ingin tertawa sarkas. Mas Dinan biasa bekerja dihadapkan rencana, target, tujuan, steps, schedule, dan tetek bengek ala marketing. Kenapa dia malah tidak membuat perencanaan matang mengenai aku?

Take a deep breathe. Exhale. Aku harus sabar. Mungkin Mas Dinan punya kebiasaan sepertiku yang sering salah masuk toko saat jalan-jalan ke mol dan berujung membeli barang-barang yang tidak tercantum di list.

"Kamu aja yang nentuin tempatnya," kata Mas Dinan.

"Betul, saya aja. Kalo Mas yang nentuin, makan siangnya jadi acara sahur," sindirku.

Mas Dinan tertawa kecil. "Bisa aja."

yyy

"Kamu yakin di sini?"

Sudah dua kali Mas Dinan mengajukan pertanyaan yang sama. Barusan aku jawab, malah ditanya lagi. Bikin kesal.

"Mas, di sini enak makanannya. Tempatnya juga nyaman," jawabku mengulang jawaban sebelumnya.

"Tapi kamu..."

"Saya kenapa?" potongku cepat.

"Pakaian kamu emm terlalu cantik untuk makan di sini," jawab Mas Dinan sambil tersenyum kaku.

Aku menelisik pakaianku. Tidak ada larangan memakai pakaian semacam ini di pintu masuk, so I'm allowed. Aku sudah sering datang ke sini, bisa dibilang aku itu langganan. Aku beserta duo kampret sudah beberapa kali makan di sini. Satu kali kami mengajak Arsee.

"Never mind. I'm okay." Aku memamerkan lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk.

"Saya yang nggak nyaman."

"Heh? Kenapa?" Aku mengernyit.

"Karena banyak yang memerhatikan kamu." Suaranya mengecil.

Aku memandang berkeliling dan menyadari kebenaran ucapannya. Meski benar, aku yang malah bingung alasannya. "Mas malu?"

"Saya nggak suka kalo yang ngeliatin cowok," jawabnya sembari pasang wajah serius.

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang