9b

41.8K 5.4K 65
                                    

"Mana nih nyokapnya Eden?"

Aku memalingkan wajah ke Sherly. Matanya tidak pernah lepas dari layar ponsel. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh. Aku jelas mengerti kepanikannya. Sebentar lagi masuk jam istirahat dan masih tertinggal satu report yang belum diambil orang tua, report milik Eden. Setelah lewat jam satu, semua teachers akan pergi meninggalkan sekolah, for you know.. teachers' party \(^o^)/emot bahagia nggak boleh ketinggalan.

"Kenapa itu bocah kayak stres gitu?" Elfin duduk di kursi sampingku bertepatan Sherly keluar.

"Emak Eden belum datang ambil report." Aku menyesap teh melati sambil menyisir pemandangan kantor yang lengang. Minggu lalu kami kelelahan plus kekenyangan di acara charity sekolah. Dan pada Rabu bahagia ini sekolah akan menutup kalender tahunan dengan pembagian student report. That means school holiday dimulai besok sampai lepas satu minggu setelah tahun baru. Nikmat mana lagi yang kau dustakan kalau menjadi guru TK, tiga minggu lebih bebas kerja.

"Lo udah kelar?" Aku mengangkat kedua alis mempertanyakan pertanyaan Elfin tanpa suara. "Report kelas lo?" Elfin memperjelas pertanyaan itu.

"Done," desisku, "lo?"

"Incredibly, yes!" Bola matanya melebar penuh penegasan.

Aku tertawa kecil. Kelas Elfin memecahkan rekor term lalu karena dia masih— dengan terpaksa— membagikan report sampai pukul tiga sore. Orang tua murid di kelasnya paling terkenal ngaret.

"Tumben."

"San." Elfin melirik ruang kaca di belakang kami. Kosong. Aku paham dia tidak ingin tertangkap membicarakan orang tua murid terutama yang punya hubungan personal dengan kepsek. "Siapa yang ambil report anak itu?"

Aku memutar bola mata. Elfin sungguh-sungguh menjalankan omongannya saat mengutarakan menggunakan nama kode 'anak itu' untuk menyebut Kimkim. "Tebak saha, Neng?"

"Gue nggak nanya kalo gue tau, Curut." Elfin dan umpatan adalah satu ikatan molekul yang jika dilepas maka berubah nama senyawanya, begitu penuturan Sherly sewaktu kami membahas betapa tahan bantingnya dia bekerja dengan Elfin dari sekolah tempat mereka mengajar dulu sampai sekolah ini. Berikutnya kami jadi lebih santai menghadapi mulut pedas dan umpatan Elfin.

Aku terkekeh. "Pak Yadi."

Mata Elfin menatapku horor. "Pak Yadi banget?" Aku mengangguk. "Nggak ada yang lain? Omnya kek? Tante? Nenek? Kakek? Siapa gitu keluarganya? Ini sopir, San, jauh banget dari ekspektasi gue."

"Lo mau emaknya Kimkim yang ambil report."

"Selviana Aryani?"

"Iya, itu. Lo mau foto bareng Selviana Aryani?"

Elfin mendengkus. "Muka gue ketara banget hunter foto bareng seleb?"

Aku tersenyum lebar mengacuhkan kalimat sinisnya. "Asal lo tau, gegara Pak Yadi yang ambil report Kimkim, antrian parents gue cepat kelar."

"Kok bisa?"

Aku mengulum senyum. "Pak Yadi kira kayak bagi rapot anak SD. Dia nanya nilai Kimkim merah nggak? Bagus nggak? Pas gue jelasin, dia motong and bilang dia nggak ngerti tulisannya jadi dia bawa aja biar dibaca papanya Kimkim sendiri. Kurang dari tiga menit, gue kelar dengan Kimkim." Aku menarik sudut bibirku lebar-lebar.

"PR banget bapaknya Kimkim." Elfin menggeleng-geleng.

Aku menyesap lagi teh. Ruangan kantor yang semula diisi kami berdua berubah ramai sewaktu Arsee dan Yossa masuk membawa obrolan mengenai BTS, Taylor Swift, dan drama Korea. Aku dan Elfin saling pandang tanpa niat masuk dalam obrolan kedua gadis itu.

yyy

Teachers' party kali ini digelar berbeda. Diadakan di mall yang jauh dari sekolah karena tuntutan Gendis dan Elfin yang diangguki antusias oleh The Girls (baca: Arsee, Yossa, dan Winta). Apa tuntutannya? Diadakan di SCBD. Oalah, cuma satu mol yang kuhapal di sana. Jelas ini akal-akalan mereka mau kongkow gratis sambil melihat esmud, itu juga kalau ketemu.

Lepas dari sekolah, kami langsung nonton bareng, dilanjut makan-makan plus ngopi cantik sambil ngobrol. Percayalah, sebagai guru dan pekerja di sekolah obrolan kami tidak jauh dari anak-anak dan parents tapi kami tidak kehabisan topik membahas gosip seleb, ekonomi, politik, bahkan lumpur pasar.

Elfin menyenggol lenganku saat membereskan isi tas. "Lo langsung pulang?"

Aku mengangguk. "Kenapa?"

"Gue dan Sherly mau jalan." Cengiran Elfin membuat tubuhku meremang. Semua orang bilang guru adalah pelita bangsa karena mereka mencerdaskan penerus negeri. Terkadang banyak orang yang lupa memanusiakan guru. Mereka juga butuh pelita mereka sendiri untuk melanjutkan hidup. Dan pelita versi Elfin dan Sherly agak— bahkan mungkin bagi sebagian besar masyarakat amat— melenceng. Pelita mereka adalah hiburan malam, clubbing.

"Kak Elfin masih mau jalan lagi?" pekik Yossa tepat di telinga Elfin. Aku menahan tawaku melihat pelototan Elfin yang dibalas cengiran tanpa dosa.

"Ikut, Kak," rengek Winta.

Aku menggeleng-geleng ke arah Arsee. Monyet kecil itu tidak boleh ikut. Bisa berabe kalau dia ketularan. Bisa-bisa datang kerja buat numpang tidur. Elfin dan Sherly sudah biasa begadang dan tidak mengikuti anjuran Bang Haji Rhoma, tapi tidak memengaruhi ritme kerja di sekolah. Kalau Arsee, si anak monyet yang baru belajar lepas popok, aku tidak yakin.

Arsee menatapku lalu menatap Elfin yang malas-malasan mengiyakan permintaan Yossa dan Winta yang mirip rengekan bocah. Elfin memang judes tapi dia selalu lemah dengan rengekan. Arsee menatapku lagi yang masih geleng-geleng. Konek dong, Ar, gue larang lo ikut, isyarat pelototanku. Monyet kecil itu malah menarik satu sudut bibirnya dan berjalan ke sisi Winta. Bahuku melorot melihat pilihan si bocah ingusan.

"Kita pamit ya, bye." Elfin, Sherly, dan The Girls meninggalkan restoran.

Gendis berdiri. "Cowok gue udah nunggu di bawah. Duluan. Happy Holiday. Happy New Year."

Kami melambai mengiringi kepergian Gendis. Tidak sampai semenit, Tya pamit pulang. Di meja tersisa aku dan Mbak Velia. Dia masih seru berkutat dengan ponselnya. Sementara aku sedang menata tubuhku. Aku agak lambat mengolah makanan. Selesai makan tidak bisa langsung bergerak atau berakibat muntah.

"Mau pulang bareng gue?" tanya Mbak Velia.

Aku menggeleng. "No, thank you. Gue cuma butuh waktu buat makanan gue turun."

"Gue balik duluan ya?"

"Silakan."

"Okay, Happy Holiday, Happy New Year. See you on Next Year." Kami berpelukan sebelum dia melepas duluan dan pergi.

Ponsel di tasku berdering. Aku melirik pelayan restoran yang berdiri tak jauh. Aku paham tatapan itu. Aku berdiri sembari menempelkan ponsel di telinga. Senyumku mengembang saat aku berpapasan dengan pelayan yang memegang kanebo dan nampan. "Halo."

"Halo, Miss Sandra."

###

03/02/2020

Haloo... ini siapa? 😁😁😁

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang