22

40.1K 5.1K 109
                                    

Panas. Panas. Wajahku panas. Laki-laki ini sukses membuat temperatur wajahku naik turun.

"Terus kenapa kalo cowok yang liatin?"

"..."

Aku mengulum tawa. Rasanya aku sedang berhadapan dengan remaja labil yang cemburuan. Mas Dinan dan wajah cemberutnya. Melambungkan jauh pikiranku. Mari jujur. Aku adalah perempuan dewasa. Tidak kupungkiri, mataku dapat menangkap gelagat pria dewasa yang menunjukkan ketertarikan padaku. Sedikit pertimbanganku sejauh ini, pria ini adalah wali muridku. Melibatkan hubungan personal dengan pekerjaan macam ini sangat berisiko. Belum lagi statusnya yang seorang duda. Dan masa lalunya yang, benar masa lalunya adalah issue utama yang harus kupertimbangkan.

Dua mangkuk soto ayam dan sepiring nasi hangat disajikan di meja depan kami. Mas Dinan mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang membawakan. Aku hanya tersenyum kepada si pelayan. Bukan niat tidak sopan, hanya pandangan menelisik si pelayan laki-laki muda itu yang membuatku risih. Nggak pernah liat cewek cantik nih, kata hatiku rada jutek.

"See. The waiter's eyes sticked on you," bisik mas Dinan.

Napasnya saat berbicara menggelitik telingaku. Alih-alih bersemu, sikap defensifku yang negatif malah keluar. Aku mendelik ke arahnya. "Kalo nggak suka, sana tegur pelayan itu."

"Kamu marah?"

Duh Gusti, berat sekali mengatur emosi. Semoga aku tidak kena hukum alam karena membentak pria yang sebenarnya memikirkan kebaikanku. Aku mengatur napas dan tersenyum. "Maaf, saya agak sensi. Mungkin karena panas," kataku. Tanganku mengambil sendok dan garpu yang tersaji di tempat peralatan makan di meja. Aku mengelapnya menggunakan tisu lalu menyodorkannya pada Mas Dinan. "Ayo makan, Mas."

Mas Dinan menatap bergantian wajahku dan dua alat makan itu. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Mungkin dia bingung menghadapi perubahan sikapku yang mendadak, tapi semua perempuan terlahir dengan kemampuan gampang berganti suasana hati. Oh, bukan perempuan saja. Pria juga begitu karena kita terlahir bersama hormon . Aku menarik tangan kanannya lalu meletakan sendok dan garpu di situ.

"Ayo makan," ajakku lagi.

"Kamu mau nikah sama saya?"

Aku menggantungkan sendok yang nyaris sesenti lagi menyentuh bibir. Aku berpaling ke arahnya. Menatap tepat sepasang mata yang serupa milik Kimkim. Jerat mata itu pun serupa anak perempuannya, mampu menenggelamkanku. Tenggelam ke dasar yang tidak terukur. Jika jatuh adalah hal yang harus kupertimbangkan jarak dan sakitnya. Tenggelam bisa jadi satu yang tidak akan aku negosiasikan. Ya, untuk kali ini aku ambil risiko tenggelam tanpa tahu medan apa yang aku masuki.

Aku meletakan sendok ke dalam mangkok soto. "Apa Mas mau menjawab pertanyaan saya?"

"Apa itu?" Mas Dinan bertanya setelah kami cukup lama berdiam di tengah keramaian warung soto.

"Apa alasan Mas ingin menikahi saya selain butuh ibu buat Kimkim?"

Aku tidak naif jika Mas Dinan pasti memilihku dengan alasan Kimkim. Aku ingin dia meyakiniku jika kami berdua pun bisa jadi partner yang baik selain orang tua. Misal, sex partner. Akh, kepalaku teracuni kemesuman Elfin dan Pak Revan. Aku bukan mengharapkan alasan ala sinetron dan telenovela. Seratus persen aku sadar cinta belum berkembang di antara kami. Tapi bohong kalau aku tidak mengharapkan secuil alasan yang akan menggelitik hatiku untuk mantap pada tawarannya.

"Saya merasa kita bisa cocok sebagai pasangan."

Apa aku tadi bilang tidak mengharapkan alasan ala sinetron dan telenovela? Aku meralatnya kalau jawaban Mas Dinan begini. Aku berasa sedang transaksi membeli hape baru. Aku merasa cocok pakai Samsung tipe ini, jadi aku beli. Helooo... bisa alasan kamu menarik dan saya suka?

"Pasangan? Mas yakin menjadikan saya pasangan?" Aku melempar senyum penuh kesangsian.

"Ya," jawabnya mantap.

"Mas yakin menjadi pasanganku?" tanyaku lagi masih kurang puas.

Dia mengangguk lalu memasang senyum manis. Senyum yang menyadarkanku pada satu fakta yang membuatku merasa miris sekarang. Bibirku kontan melengkung ke bawah. Mas Dinan yang tersenyum berubah gusar pasti karena melihat mataku berkaca-kaca.

"Kenapa, San? Ada apa?" tanyanya panik.

"Mas, tadi saya dilamar ya?" Aku berusaha keras berbicara sambil menahan airmata dan suara serak.

Mas Dinan mengiyakan sambil mengangguk. Wajahnya luar biasa panik. Tangannya sudah menggenggam tangan kiriku yang berada di atas meja.

"Kok ngelamarnya di warung soto? Ini soto loh. Dan tadi Mas ngajak nikah loh," kataku menggebu.

Beberapa pengunjung yang sedang asyik menyantap soto jadi mengubah kesibukan kepada kami. Suaraku memang sudah tidak terkontrol. Bergetar, terisak, dan serak. Lebih buruknya volume yang tidak stabil. Lupakan niatanku mengajarkan pengaturan volume pita suara pada Arsee. Aku tidak kalah jelek darinya sekarang.

Mas Dinan mengangkat kedua alisnya sambil mengulum senyum. Bisakah dia pasang wajah jelek agar kejengkelanku bisa lepas tanpa canggung merusak ketampanannya? Sekali ini saja, tolong.

"Mau kamu bagaimana?"

"Ayo diulang di tempat lain," jawabku sambil menarik tangannya. Masa bodoh pada mata-mata yang menatapku aneh maupun lontaran kata-kata usil yang meledek kami. Aku menarik Mas Dinan keluar warung soto itu usai dia membayar makanan yang bahkan belum kami sentuh.

"Siapin dompetnya, ya! Aku nggak mau yang kayak tadi. Kalo takut bangkrut masih ada waktu buat antar aku pulang," kataku penuh ancaman.

Mas Dinan hanya terkekeh pelan dibalik kemudi. Dia melajukan mobil hitamnya kembali berbaur di keramaian lalu lintas Melawai. Tangannya sigap mengikuti instruksi tanganku menuju destinasi terbaik seorang Sandra ingin dilamar.

Kemana itu?

Tempat yang bahkan tidak kujawab saat ditanya Mas Dinan. Dia hanya perlu menuruti navigasi yang kuberikan. Itu saja. Mengemudi dengan benar. Dan biarkan aku menikmati lebih banyak kebahagiaanku karena tawarannya di warung soto tadi. Me-reka ulang semua kejadian itu. Memuaskan kupu-kupu di perutku terbang. Menggelitik sampai ke sekujur tubuhku.

###

04/03/2020

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang