23

40K 5.2K 99
                                    

Sejam yang lalu, aku memang memikirkan makan siang romantis di tepi pantai atau rooftop restaurant, bahkan terbang seminimalnya ke Singapura dan mengarahkan jari manisku untuk disisipi cincin berlian. Semuanya berubah, semudah mood-ku berubah setiap Arsee mengucapkan kata-kata polos bin ajaibnya atau menstruasi di hari pertama. Karena satu alasan. Alasan yang akan selalu menjadi prioritas bagi pria yang barusan menawarkan komitmen paling dahsyat sedunia.

Boleh saya hentikan acting sok dramatis saya?

Oke, terima kasih.

Setelah lamaran paling tidak elegan versi Sandra Maulidya anak dari Ibu Listy dan Bapak Mujid di warung soto, aku menawarkan perubahan lokasi. Ada unsur pemaksaan sedikit. Perempuan lah biasa.

Di tengah perjalanan, aku sudah membayangkan restoran kelas atas dengan harga makanan yang setara sewa kontrakan tiga kamar tidur per bulan di Jakarta. Egoku bilang, satu kali makan di sana tidak akan membuat Mas Dinan bangkrut. Walau jelas menipiskan dompetnya. Eh, dompet Mas Dinan memang tipis. Kalau begitu mengurangi saldo tabungan dan menggemukkan kredit.

Nyatanya nurani masih menyimpan bidadari cantik yang mengingatkanku pada sosok mungil kesayanganku. Kimkim. Anak yang tidak boleh dilewatkan kehadirannya dalam momen kami. Baca; aku dan Mas Dinan.

Maka, di sinilah aku. Mengamati dari kejauhan bagaimana interaksi mas Dinan, Kimkim, dan dua orang perempuan yang kutebak sebagai fasilitator di daycare ini. Mas Dinan mengucapkan terima kasih pada dua perempuan berusia awal dua puluhan. Tanggapan dua perempuan muda itu sangat 'alamiah'. Lihat tanda kutipnya kan? Aku bukan tanpa sengaja menaruhnya di sana. Tangan salah satu perempuan mengelus lengan kiri Mas Dinan sambil tertawa dan mengucapkan betapa senangnya mereka menerima Kimkim. Perempuan lainnya memandang kagum tanpa sembunyi-sembunyi dan melontarkan dua kali kalimat pujian ayah dan anak yang rupawan, ayah dan anak favorit di sini.

Demi apa mereka bisa terang-terangan melempar kode begitu. Daycare ini butuh atasan setempramen Mbak Velia dan mulut sejahanam Pak Revan biar karyawannya bersikap lebih sopan. Bahkan lebih baik ditambah Sherly dan Elfin yang tidak segan menegor sesama rekan kerja yang melanggar SOP. Duo sableng itu saja masih lebih tahu aturan kerja.

"Mas," panggilku. "Kimkim sayang!" Kali ini ke arah Kimkim yang masih saja digandeng oleh perempuan-perempuan itu.

Kimkim yang baru menyadari kehadiranku melepas pegangan tangan mereka. Dia berlari ke arahku. Belum sempat berteriak, aku sudah lebih dulu menempelkan telunjuk ke bibirku, memintanya mengurungkan niat mengucapkan panggilanku. Biar misterius bagi dua perempuan genit itu.

Aku berjongkok untuk memeluk Kimkim. Baru kemarin bertemu rasanya masih saja kangen. Apalagi aroma minyak telon, bedak bayi, dan parfum bayi di tubuhnya membuatku tidak bosan mengendusi si baby gembil satu ini.

"Sudah selesai. Ayo, San," kata Mas Dinan yang tahu-tahu sudah berdiri di depan kami.

Tangan kiriku menggandeng lengan kanannya. Mas Dinan berjengit. Belum cukup di situ, jemari kananku menyusup di celah jemari kanannya. Aku tersenyum melihat wajah keheranannya. Sebelum beranjak ke luar, aku sempatkan berpaling kepada dua perempuan itu sambil mengangguk dan tersenyum lebar. Mereka meresponsku canggung dan terkejut. Ini memang yang kuharapkan, membuat mereka malu dan jera sudah menggoda cowok orang. Eh, cowok orang? Aku jadi geli sendiri.

"Mas sering gitu ya di sini?" tanyaku saat mobil sudah meninggalkan parkiran tempat penitipan anak itu.

"Gitu gimana?"

"Haha hihi nggak jelas ama perempuan-perempuan itu," jelasku.

"Perempuan-perempuan itu miss yang menjaga Kimmy di sana."

"Iya, tapi apa pantas elus-elus lengan gitu? Muji-muji cakep lagi, kegenitan banget."

Lupakan semua idealisme perempuan harus dikejar. Kini aku pasang harga mureeh demi memuaskan emosiku. Biarkan saja Mas Dinan melihat secara gamblang perasaanku.

"Kamu juga miss-nya Kimkim dan saya tidak melarang kamu merangkul tangan saya seperti tadi."

Missnya Kimkim...

Aku menoleh dramatis. Bagaimana bisa Mas Dinan menanggapi perkataanku begitu, seolah-olah aku dan dua perempuan itu berada dalam satu level yang sama? Aku pikir kami sudah berbeda. Aku sudah bukan lagi di level guru dan nanny saja. Mungkin aku berpikir berlebihan tentang bagaimana status kami sekarang. Hubungan kami hanya berat di sisiku saja.

Aku menipiskan bibir. Mataku sudah berhasil menjauhi obyek paling menyebalkan di dalam mobil ini. Membuangnya ke pemandangan di balik kaca sebelahku.

"Maaf," desisku.

"Apa, San?"

"Maaf," ulangku lebih keras.

"Buat apa?" Mas Dinan melihat lewat ekor matanya.

Aku tidak mau lebih lama bersama dengan laki-laki ini. "Saya mau pulang."

Mas Dinan mengerutkan alisnya melihat ekspresi kesalku. Matanya melirik Kimkim dari spion tengah, anak perempuannya itu sedang asyik menonton youtube di tab. Namun tidak menutup kemungkinan dia menguping pembicaraan kedua orang dewasa di mobil ini. Apalagi dengan makin cakapnya Kimkim berbahasa Indonesia, dia pasti lebih paham pembicaraan kami.

"Bukannya kamu mau menunjukkan tempat makan yang bagus kepada saya dan Kimmy?"

Aku sadar Mas Dinan membaca gelagat anehku dan meminimalisir percekcokan di antara kami. Setidaknya bukan di depan Kimkim.

"Kita mungkin bisa pergi ke sana lain kali," jawabku tercekat. Kepalaku rasanya mau meledak menahan marah dan kecewa.

"Kalo begitu kita ke apartemen." Suara mas Dinan terdengar tegas dan datar. Aku nyaris tidak mengenalinya jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri dia yang mengucapkan kalimat barusan. Aku tidak mengiyakan atau menolak. Kali ini akan kubiarkan dia yang memutuskan.

Yyy

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang