11

44.5K 5.9K 102
                                    

Kamis pagi, libur, Desember, bonus performance.. apalagi yang kurang dari segala nikmat yang tersaji di depanku. Pacar. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar. Mengusir pegal badan pun mumet otak di akhir dua puluhan. Liburan tidak perlu dijejali target yang sebenarnya tidak jauh dari pandangan tetangga, pernikahan. Nikah jelas beda dengan kerja, dijalani demi gaji bulanan. Nikah perlu kompromi dan komitmen dua kepala. Achievement dari pernikahan jelas bukan hanya gaji, thr, atau bonus melainkan surga dunia akhirat. Aku tidak ingin menikah semata-mata lepas dari sindiran tetangga dan keluarga soal kapan nikah.

Aku mau menikah karena Tuhanku merestui laki-laki itu untukku dan merestuiku untuk laki-laki itu. Bijak nggak? Hahaha jangan tertipu kedok cuekku. Begini-gini aku sensitif dan cukup dewasa loh. Berhubung kerja bersama anak-anak, sisi kekanakanku memang sering dominan. Ya termasuk cuek terhadap lingkungan, seru sendirian, sukanya main-main.

Dering ponsel yang lupa kusimpan dimana meramaikan kamar tidurku. Sekali ini, mengawali hiatus akhir tahunku yang sangat amat dinantikan aku tidak mengacuhkan dering itu.

"San, hapemu bunyi tuh. Angkat, Nak, mungkin penting." Suara Ibu dari luar.

Aku mengerucutkan bibir. Kesal tapi malas menanggapi. Belakangan aku sedang bermain aman dengan Ibu. Semacam menjadi anak penurut dan kalem. Pasalnya adik perempuan Ibu, Tante Adya, akhir bulan lalu menawari Ibu seorang laki-laki untuk dikenalkan padaku. Anak teman arisan katanya. Alih-alih bahagia, aku malah kicep duluan. Tante Adya ikut arisan kristal, teman-teman arisannya so pasti kalangan borju yang rela keluar uang puluhan juta per bulannya. Tidak terbayang dijodohkan dengan kalangan itu. Sudah rendah diri duluan. Gajiku memang tidak rendah pun tidak besar. Bayar cicilan avanza yang lima tahun kurasa masih sanggup, tapi bukan pula digit. Pokoknya sebisa mungkin aku mengharapkan kehidupan biasa, sederhana, dan bahagia. Melihat banyak muridku yang berasal dari kalangan luar biasa mapan namun kurang kasih sayang atau tertekan dengan tuntutan ortu yang gila pujian membuatku sering melipir. Takut meniru. Padahal aku sadar, aku bisa berbeda kalau mau.

Aku menyibak selimut sampai jatuh ke lantai, mengangkat bantal guling pun tidak menemukan ponselku. Aku memfokuskan asal suaranya. Aku menemukannya di bawah kasur. Bingung kenapa di bawah kasur.

Papa Kimkim

Aku mengerutkan kening. Ada angin apa menelepon pagi-pagi begini. Eh bukan pagi buta sih, sudah jam delapan. Tahu kan jam delapan di hari libur adalah pagi-pagi. Jam sepuluh barulah pagi. Jam dua belas menjelang siang. Oke, itu penetepan waktu liburku yang sangat subyektif. Lupakan.

"Halo," sapaku.

"MISS SANDAAAA!!"

Aku menjauhkan ponsel. Telingaku berdengung tidak karuan. Teriakan melengking di seberang sana RUARR biasa menyakitkan. Menyakitkan telinga.

"Kimkim?"

"IYA MISS!" Duh Gusti, siapa yang mengajarkan bocah satu ini makan toa? Dimana orang dewasa di dekatnya? Suaranya kuyakini bisa membuat tetangga apartemennya protes. Di telepon sekencang ini apalagi aslinya.

"Nak, inside voice please," pintaku. Beruntung kami tidak bersitatap. Tidak tahu bagaimana aku bisa mengendalikan ekspresi jengkelku. Setidaknya nada suaraku masih terkontrol.

"Miss..mana..sana"

Hah? Diminta kecilkan suara malah dia bergumam sendiri. Minta dicium banget gembul satu ini.

"Nak, Miss tidak mendengar. Tolong lebih keras tapi tidak berteriak."

Suara dengkusan kasar di seberang. Kuyakini dia kesal. "Miss, dimana rumah Miss? Aku mau ke sana?"

"Buat apa?" Ohemji, refleksku menghancurkan citra lembutku. "Maaf. Kamu mau apa ke rumah Miss?"

"Aku nggak mau ke teker. Papa mau bawa aku ke sana."

"Teker?"

"Iya, teker." Suara isakan terdengar. Hatiku merasa tidak nyaman.

"Papa kamu mana? Miss mau bicara."

Aku menjauhkan ponsel saat suara teriakan Kimkim memanggil papanya. Terdengar sayup-sayup percakapan mereka. Sepertinya baby ndut itu tidak meminta izin papanya saat meneleponku. Kimkim baru tiga tahun dan dia tahu cara mencari kontak dan menelepon. Aku tahu Kimkim bisa membaca sedikit-sedikit tetapi menggunakan gadget jelas anak sekarang sudah lebih hebat.

"Halo."

Desiran aneh di dadaku saat mendengar suara laki-laki dewasa di seberang. "Ya halo."

"Miss, maaf saya tidak tahu Kimmy menggunakan ponsel saya menghubungi kamu."

Kamu.. hemm..

"Tidak apa-apa. Saya maklumi. Sepertinya ada hal penting yang ingin Kimkim bicarakan dengan saya."

Jeda.

Well, orang ganteng memang punya banyak keleluasaan termasuk membuat orang menunggu lalu dimaklumi. But please nggak di awal liburan saya. Masa hiatusku bisa terbuang percuma hanya untuk bolak-balik menatap layar ponsel lalu menempelkan ke telinga, memastikan panggilan ini masih tersambung.

"Mas," panggilku lembut, menyamarkan ketidaksabaran yang tercetak jelas di dahiku.

"Ya, Miss. Maaf. Apa yang dikatakan Kimmy tadi?" Ada nada penyesalan yang terdengar.

"Dia bilang tidak ingin ke teker," kataku agak tidak yakin dengan kata terakhir.

Suara kekehan kecil terdengar di ujung sana. Suara tawanya saja sudah seindah ini apalagi wajahnya saat tertawa. Eits sadar San. Eling eling. Yang ganteng lebih baik buat dikagumi. Aku menggelengkan kepalaku mengusir pikiran aneh.

"Daycare, San."

Mataku membesar. Kuharap indera pendengaranku tidak salah dengar. Laki-laki itu memanggilku tanpa embel-embel Miss. Yakin nih?

"Oh em i.i.iya itu anu daycare." Aku tidak bisa mendeskripsikan betapa tololnya aku berbicara. Lidahku tak bisa diarahkan normal, buruknya lagi pipiku terasa memanas.

"Saya mau menitipkan Kimmy ke daycare. Dia sudah menolaknya tadi. Saya pikir dia lari ke kamar karena ingin menangis, tidak tahunya karena mau menelepon kamu."

Dua kali 'kamu'. Fix, aku kena demam. Mukaku panas dan kepalaku mendadak ringan sampai pipiku kedutan minta ditarik ke atas. Tenggorokan juga kering.

"Kenapa dibawa ke daycare?"

"Tidak ada yang menjaganya di rumah."

"Begitu."

Jeda kali ini tercipta karena pikiran kami masing-masing. Tidak tahu berapa lama hingga satu suara menginterupsi di seberang.

"Aku sama Miss San aja."

"Hah," suara pertama yang keluar dari mulutku dan Mas Dinan.

###

07/02/2020

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang