9a

43.3K 6K 141
                                    

December event yang digelar pada hari Jumat pagi berlangsung meriah. Orang tua yang datang antusias mengikuti acara lelang lukisan kelas, disusul acara penutup berupa pentas musik dari semua murid yang menyanyikan lagu You're not Alone, menambah kuat pesan yang diantar acara ini. Selain lelang, orang tua pun dapat membeli lukisan perorangan yang dipamerkan sepanjang hallway. Orang tua membeli lukisan karya anak sendiri. Tidak ada yang berusaha membeli lukisan milik anak lain walau masih ada beberapa orang tua yang bertanya-tanya soal lukisan buatan anak lain. Itu tidak lebih karena rasa kagum atas hasil karya tersebut.

Selepas acara, orang tua dan murid disuguhkan sajian makanan ringan berupa potongan buah dan kue jajanan pasar. Namun ada juga makanan hasil potluck orang tua murid seperti lasagna, macaroon, donat, ayam crunchy, setup buah, pastry, dan puding.

Aku menyisir ruang gym, memastikan semua muridku sudah dikembalikan kepada orang tua atau nanny masing-masing. Ketika acara besar, semua guru tidak hanya berkonsentrasi pada murid kelasnya saja, melainkan semua murid dan jatah kerja. Aku harus ekstra hati-hati terhadap proses pengembalian murid. Wait, satu murid masih belum diserahterimakan kepada pihak penjemput. Aku menyadarinya saat melihat Pak Yadi di ambang pintu lobby terlihat canggung dengan keramaian sekolah. Matanya yang bertubrukan denganku menyiratkan pertanyaan yang segera kutindaklanjuti.

"Arsee," panggilku saat melihat Arsee di ujung hallway.

"Kenapa, Kak?"

"Lihat Kimkim?" Keringat dingin menetesi keningku. Suhu ruangan masih tergolong dingin meski diisi banyak manusia. Kurasa kepanikan menyebabkan munculnya titik-titik air di wajahku.

"Oh Kimkim. Tuh di pojokan." Arsee menunjuk sisi meja yang bercelah dengan dinding. Aku menemukannya. Sosok kecil itu duduk sambil memeluk lutut. Mata bulat besarnya langsung menatapku. Aku tidak menemukan wajah antisipasi yang sering diperlihatkannya. Gadis cilik ini malah menunjukkan sinar mata yang— kuharap salah diartikan— sedih.

"Dia kenapa?" desisku.

"Nggak ada yang ambil lukisan dia." Arsee menggerakkan dagunya menunjuk satu-satunya lukisan tersisa di meja yang semula memajang seluruh lukisan anak-anak.

"Gue udah kasih undangan acara ini ke bokapnya. Emang bokapnya nggak datang?"

Arsee menggeleng. "Kak, seingat gue, lo nggak kasih undangan ke bokapnya."

Aku menggaruk dahiku yang tidak gatal. "Yaa gue titip ke Pak Yadi biar dikasih ke bokapnya. Sama aja, kan?"

"Be-da."

"Bilang ke Pak Yadi, Kimkim ama gue. Dia lagi nunggu di lobi." Aku menghindari tatapan intimidasi Arsee dan memilih berjongkok di depan sosok kecil yang sudah menenggelamkan wajahnya di balik lutut. "Kimkim, makan puding yuk sama Miss Sandra."

Kimkim menatap tepat ke mataku. "Lukisanku jelek, ya?"

Aku menggigit bibir bawah. Ada ratusan kata tenggelam dalam tenggorokanku saat dia bertanya. Aku mengangkat tubuh Kimkim dalam gendongan. Kedua tangannya melingkar di leherku, lalu kami berjalan ke depan lukisannya— satu-satunya dipajang di atas meja.

"Miss pikir lukisan Kimkim sangat indah. Boleh Miss Sandra beli lukisan kamu?"

Kimkim tersenyum. Deretan gigi susunya tampil memukau. Semburat merah menyapu pipi gembilnya. "Boleh, Miss." Kepalanya mengangguk-angguk semangat.

"Terima kasih. Ini pasti lukisan yang cantik untuk dipajang di ruang tamu rumah Miss Sandra."

"Miss San lukisan aku suka?" tanya Kimkim dengan manik mata jenaka yang pertama kali kulihat.

"Sure. Why not? Ini lukisan yang indah." Aku memerhatikan lukisan Kimkim yang berupa caterpillar biru dan matahari oren kemerah-merahan dalam goresan warna berantakan, tapi tidak melepaskan unsur estetika yang berhasil di usung bayi tiga tahun ini. Aku membayangkan reaksi ibuku jika membawa pulang lukisan ini untuk dipajang di rumah kami. Satu catatan yang harus kuingat, tidak menyebutkan nominal menebus lukisan ini. Ayolah, empat ratus ribu untuk lukisan karya bayi amatir jelas sangat wajar jika disanding biaya sekolah ini tiap term yang melebihi seribu dollar. Namun jelas tidak untuk ibuku.

Cup. Aku membeku. Barusan Kimkim mencium pipiku. Bayi judesku tanpa paksaan menciumku suka rela. Oh my my, apa hujan candy akan turun di Jakarta sore ini? Ciuman mahal ini bahkan lebih manis daripada gulali.

"Thank you," bisiknya. Kemudian dia mengeratkan pelukannya sembari menenggelamkan kepala di balik kerah baju poloku.

Aku mengusap punggungnya sembari membisik, "It's my pleasure." Jiwaku terpuaskan oleh aroma bayi yang menguar samar dari tubuhnya. Lupakan bobot 18 kilo yang kugendong, momen ini lebih berharga dari pegal-pegal lenganku di kemudian hari.

###

02/02/2020

Kimkim itu ga endut. Dia ku...rus?

Ya, pokoknya ga boleh sebut kimkim ndut 🙄

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang