2

65.8K 5.8K 46
                                    

2
Push-up Bra, Spanx, dan Tap Tap

W
aktu paling melegakan seorang guru TK bagiku adalah saat bisa duduk di kursi normal orang dewasa. Ukuran yang sesuai untuk bokong orang dewasa, bukannya kursi mini yang diperuntukkan anak kecil. Aku menggerakkan kursi ergonomic yang aku duduki ke kiri dan ke kanan, mengikuti alunan musik All About That Bass-nya Meghan Trainor. Elfin baru datang saat musik berhenti dan loading playlist Youtube berjalan.

"How's your day?" tanyanya setelah melesakkan bokong pada kursi di sebelahku.

"Lumayan," desisku.

"Pipi lo kenapa, San?" Elfin yang duduk di sebelah kananku langsung menangkap tanda kemerahan yang dihasilkan Kimkim tadi pagi.

"Kimkim dorong pintu kuat banget sampai kena pipi Kak Sandra." Arsee mengambil alih bagianku menjawab. Aku tidak peduli siapa yang menjawab sejauh memang jawaban itu benar. Elfin bersiul. Pak Revan yang duduk di sebelah Elfin menggelengkan kepala dengan wajah terpukau atas kabar Arsee. Aku memilih tidak mengacuhkan mereka dan menutup tab Youtube pada laptop. Susah sekali menikmati musik jika pandangan beberapa orang tertuju padamu. Aku menggeser kursi merapat meja Arsee yang membelakangi mejaku untuk mengambil kaleng Zambuk.

"Itu kalo nggak sering-sering dioles ointment bisa jadi biru, San," kata Pak Revan. "Menderita banget sih jadi Bu Guru." Pak Revan ini bekerja sejak peletakan kerikil pertama sekolah ini, yang artinya dia sudah bekerja sejak sekolah ini masih jadi wacana dan belum terealisasikan. Dia pula satu-satunya pria yang menjadi ladang curhat para guru tentang ribetnya Mommy milenial, anak-anak generasi masa depan, dan beratnya melakoni profesi pendidik. Kocaknya, dia malah berpendapat seperti barusan. Konsistensinya sebagai pria memang kian tergerus akibat salah posisi duduk dan rekan kerja. Aku tidak akan menyalahkan Pak Revan. Aku menyayangkan pengaruh buruk Elfin dan Sherly persis di kiri dan kanannya.

"Gue butuh lebih dari sekadar ointment buat mengatasi hidup menderita gue, Pak," sahutku sembari mengoles zambuk ke bagian yang nyeri. Aku sengaja meletakkan zambuk yang sudah kupakai di atas mejaku sendiri, persiapan jika masih diperlukan.

"Butuh apa, San?" Elfin bertanya lebih dulu dari Pak Revan dan Arsee yang sejak tadi mendengarkan.

"Butuh pasangan!" Aku menutup wajah menggunakan kedua tangan, malu bukan kepalang menyuarakan kepelikan yang menggerogoti pikiran di penghujung dua puluh tahun.

"Sumpreto, kirain masalah penting apaan," Elfin mendengkus sebal, "sana daftarin diri lo ke Setipe dot com atau coba instal aplikasi dating di Playstore. Jangan ngerengek kalo belum usaha."

"Kayak lo usaha saja," sahut Pak Revan yang aku setujui melalui anggukan. Elfin hanya memutar bola matanya.

Percakapan rendah manfaat kami terhenti saat pintu ruang guru terbuka, disusul Gendis masuk sambil membawa setumpuk folder. Dia tidak sungkan melempar folder itu ke meja Sherly yang kosong. Tangannya bertengger pada pinggang dan helaan napas panjang keluar dari mulut seolah-olah dia telah terbebas dari beban ratusan kilogram. Kadang aku kasihan pada Gendis yang harus berjuang sendirian di kelas tanpa asisten guru. Mau bagaimana lagi, dia berada di kelas berumur empat tahun yang isinya hanya lima murid. Secara kebetulan, lima muridnya adalah murid-murid yang sangat mandiri. Jika perlu ke toilet, Mbak Hida selaku OG sekolah yang akan membantu pekerjaan Gendis. Selebihnya diurus Gendis sendiri.

"Jadi murid trial itu akan daftar?" tanya Gendis tiba-tiba. Matanya yang bulat menatapku antusias, jenis antusias yang aku matikan dengan gelengan kuat. "Dia nggak akan daftar?"

"Nggak tahu," cicitku. Enggan sekali membahas Kimkim setelah melihat bagaimana sikap pengasuh anak itu yang kurang ramah. Tidak ada percakapan yang kami buat kecuali gestur terburu-buru menggeret Kimkim keluar dari lobi sekolah.

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang