25

39.7K 4.9K 62
                                    

"Begitu ceritanya, tante."

Aku melirik Elfin yang menyudahi ceritanya dengan memasang wajah sendu. Di sebelahnya, Sherly tak kalah sedih rautnya. Kemudian menatap ibu yang datar dan bapak yang sedang berpikir keras, terlihat dari guratan di keningnya.

"Kaki kamu masih sakit?" Ibu bertanya dengan ekspresi minim.

Aku meneguk ludah. Ini bukan indikasi yang buruk, ibu memang jenis perempuan langka di dunia. Minim ekspresi dan minim kata. Tidak buruk, sungguh. Kecuali kamu sedang melakoni kebohongan. Sukar menebak ibu berhasil dibohongi atau tidak.

Aku menarik napas. Menetralkan emosi di dalam diri. "Udah mendingan, bu," jawabku sambil menggeleng lemah.

"Ya sudah kamu istirahat. Jangan diulangi lagi. Kamu membuat ibu dan ayah khawatir." Bapak pergi meninggalkan ruang tamu setelah berbicara lembut kepadaku.

Ibu mengelus punggungku lalu pergi mengikuti ayah ke kamar mereka. Aku baru bisa menghela napas lega setelah pintu kamar mereka benar-benar tertutup.

"Oh my, gue kira gue bakal ketauan," desis Elfin seraya mengelus dadanya dengan ekspresi wajah hiperbolis.

Sherly bersandar pada sofa ruang tamu. Menenggelamkan sepertiga tubuhnya di sofa. Pandangannya kosong sekian detik lalu berubah garang...kepadaku?

Eh?

Aku menatap Sherly dengan wajah polos. Wajah polos yang dibuat-buat. Duo kampret itu jelas tidak akan termakan dengan keahlian aktingku. Mereka lebih handal. Sejujurnya, mereka adalah guru ekspresiku soal kebohongan.

"Lo," kata Sherly dengan suara berbisik. Matanya melirik kamar orang tuaku sebelum melanjutkan kalimatnya. "Punya utang cerita ama kita."

Aku mengangguk malas. Sudah tahu mereka akan menuntut cerita yang membuatku baru pulang di hari Minggu ini.

"Ikut gue yuk," ajakku dengan volume suara yang sama dengan Sherly. Berbisik.

Mereka berdua mengangkat alis. Menunjukkan pertanyaan non-verbal mereka.

"Ke gazebo," jawabku.

Aku memimpin jalan ke gazebo di belakang rumahku. Tidak mungkin juga aku pergi jauh dengan kaki keseleo begini.

Sherly dan Elfin duduk mengapitku. Membuatku paham mereka mencoba mengurangi interupsi atau kesempatanku menghindari cercaan mereka nantinya. Perempuan yang firm memang punya kecenderungan mendominasi situasi.

"Gue udah bebas ngomong normal kan?" Tanya Elfin.

"Iya," jawabku tanpa melihat bagaimana tampang duo kampret itu. Aku lebih memilih memperhatikan kaki kananku yang bengkak dan berwarna kebiruan.

Elfin berdehem. "Ini nggak perlu diminta, bisa kan langsung cerita," katanya, penuh nada sindiran.

Satu sudut bibirku tertarik ke atas. Merespon guyonan yang coba dilempar Elfin namun menyentilku sepenuhnya. Hari masih tergolong pagi, panas matahari sudah menyorot ke arah gazebo yang dinaungi tanaman bunga telang.

Aku menarik napas sebelum mulai berbicara. "Gue itu kemarin.."

☆°・*:.。.☆o☆.。.:*・°

"Gimana? Suka?"

Pertanyaan lembut Mas Dinan langsung membuyarkan lamunanku. Mataku nyaris tidak berkedip melihat lingkaran putih dengan permata bening di jari manis tangan kiriku. Ini mimpi terindah seorang anak perempuan, bagiku.

Aku mendongak. Mataku langsung melihat mata gelap mas Dinan yang masih menyorotku penuh tanda tanya. Aku tersenyum lebar membuatnya menampilkan senyuman manis kesukaanku.

"Mas."

"Iya, San." Mas Dinan memajukan sedikit tubuhnya ke arahku. Mungkin ingin mencari posisi ternyaman untuk mendengar omonganku. Narsis.

"Cincinnya bagus," pujiku dengan suara bergetar.

Aku yakin pipiku sudah bersemu karena panas wajah yang kurasakan. Mas Dinan malah berkali lipat ketampanannya setelah ucapanku barusan. Pasti dia senang dengan ucapanku sebelum aku melanjutkan, "Tapi ini bukan cincin termahal kan?"

# # #

12/03/2020

aku lupa doooong mau apdet ini kemarin huwaaa...

semoga kalian masih nungguin ya...

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang