8

47.1K 5.7K 365
                                    

"Miss, tolong tunggu sebentar."

Aku berhenti berjalan. Sebelah tanganku dicekal oleh Papa Kimkim. Aku menunduk dalam. Ada aliran panas di pipiku. Dengan sebelah tangan yang bebas, kuusap kasar wajahku.

"Saya antar Miss Sandra pulang," tawarnya.

Aku menggeleng lemah tanpa mengangkat kepala.

"Jika pertimbangan Miss menolak tawaran saya karena Jason, dia tidak akan ikut saya mengantar Miss Sandra."

Aku mengangkat kepala dan melempar tatapan takjub pada pria yang menebar senyum rupawannya. Apa segitu ketaranya wajah benciku pada Jason sampai Papa Kimkim yang baru kukenal bisa mengetahuinya?

"Jangan pikirkan saya, saya sudah biasa pulang malam sendiri," tolakku halus.

Kekehan ringan keluar dari bibir tipis lawan bicaraku. "Kalau Miss Sandra sebut jam dua puluh nol nol di Jakarta sebagai malam, saya wajib mengantar pulang Miss Sandra."

"Eh?" Aku memiringkan kepalaku bingung.

"Ayo!" Papa Kimkim menggerakkan kepalanya memberi kode jalan. Dia sudah melepas genggamannya pada lenganku.

Aku terdiam sedetik sebelum membuntuti. Kulirik ke belakang. Tidak ada sosok Jason. Aman. Aku mengusap dada sembari mengucap syukur.

Kami sampai ke pelataran parkir yang tidak kuhapal. Sudah kubilang ini bukan ladang jajahanku. Mana kutau ini di West Mall atau East Mall atau di Menara BCA atau entahlah. Aku terus menunduk sepanjang jalan dengan pikiran melayang-layang.

Papa Kimkim berhenti. Aku berhenti dua langkah di belakangnya. Kepalaku menengok kanan kiri.

"Ada apa Miss Sandra?" Papa Kimkim menyodorkan helm putih.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Emm Pak, mana benz-nya?"

YYY

"Morning," sapa Pak Revan sumringah, disusul kedatangan Mbak Velia, Gendis, dan Elfin. Aku yang sudah datang duluan membalas sapaan itu sambil mengangkat cangkir teh hangat.

"Sarapan yuk," ajak Gendis sembari membuka bungkusan gorengan yang khas dari kertas putih dilipat jadi bentuk kantong.

Pak Revan mendekati meja Gendis. "Gue ambil pisangnya ya, sepet lidah gue."

"Udah ngerokok pagi hari, pantas lidah sepet. Tobat merokok deh," timpal Elfin.

"Lo lihat gue ngerokok, Fin?"

Elfin mengangguk sembari membereskan isi tasnya. Dia menoel lengan atasku yang kulipat di atas meja. "Kemarin apa kabar?"

Aku mendengkus. "Apa kabar apanya?"

"Yee, ditanya malah nanya balik. Nggak seru nih. Ya soal lo ketemu bokapnya Kimkim lah. Ngapain juga gue kepoin kesehatan lo."

"Hidup lo pasti santai banget ya, Fin. Lancar banget itu mulut menyilet perasaan gue." Aku menunjuk bibir Elfin menggunakan sendok teh yang habis mengaduk gula ke minuman.

"Kalo emosi gini, bisa jadi karena Sandra gagal pedekate ke pamud." Gendis sok mengeluarkan analisis ngaconya. Gendis memang yang sering ngaco kalau membuat statement, sementara Elfin adalah yang paling nyablak bicara. Dua-duanya sama tidak mengenakan diajak curhat. Syusyahh nemu solusi, yang ada tarik urat.

"Gue pedekate kok."

"WHATT?!"

Mbak Velia menarik semua perhatian kami. Wajahnya terlihat antusias. Tempat dudukku yang membelakangi ruangannya membuatku tidak menyadari dia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan kami.

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang