10

45.6K 6.4K 518
                                    

Aku meletakkan kantong belanjaan di atas meja persis di seberang Mas Dinan yang menurunkan Kimkim di atas sofa. Mataku telah memindai cepat ruang tamu apartemen, membuat penilaian bahwa Mas Dinan mempunyai rekening berstatus 'bahaya'. Aku sendiri punya rekening yang selalu masuk level 'ngos-ngosan' di tanggal lima tiap bulan.

"Saya masak dulu. Kamu sudah makan?"

"Sudah, Mas. Mau saya bantu?"

Dia menarik satu sudut bibirnya, jenis senyuman nakal yang baru kulihat. "Kamu nggak takut sama pisau?" tanyanya setelah melenyapkan senyuman itu.

Aku mencebik. "Takutlah kalo nusuk saya. Pasti sakit."

Dia terkekeh. "Kamu yakin masuk dapur? Bantu saya di dapur?"

Aku melipat tangan di dada. Setelah tadi mulutku keceplosan mempertanyakan ulang tempat tinggalnya ini yang berujung delikan, giliranku yang akan menunjukan sikap superior. "Segitu keliatannya saya hopeless perkara dapur? Jangan nangis ya kalo gagal nyobain masakan saya."

"Kamu pede gini bikin saya penasaran sama masakan kamu."

"Masakan saya sih bisa bikin keluarga dan anak-anak jatuh cinta berkali-kali sama saya." Aku tidak bohong soal ini. Aku pandai memasak beberapa masakan yang cukup untuk menu satu minggu dengan catatan dua kali makan berat dan sarapannya berupa roti tangkup selai saja.

"Kalo saya sampai jatuh cinta berkali-kali gimana?" Dia menaikkan satu alis sembari memasang kembali senyuman nakal. Aku berharap Mas Dinan punya sedikit kesadaran bahwa tindakannya berpotensi tidak baik bagi jantung. Jantungku, tentu saja.

"Bukan tanggung jawab saya." Aku mengangkat tangan, sadar telah terjerumus dalam ucapanku sendiri. Ini alasan orang tua sering berkata lidah tak bertulang, sekalinya terpeleset ya nyebur kamu dalam persilatan lidah.

Di saat aku dan Mas Dinan berbicara, Kimkim sedang berkutat pada buku mewarnai. Sebuah solusi yang Mas Dinan berikan ketika Kimkim mempertanyakan keberadaan remote TV. Rasanya memprihatinkan mendapati Kimkim sama kurang inisiatifnya di rumah dan sekolah.

"Ayo ke dapur," ajak Mas Dinan sudah menenteng kantong belanjaan.

"Kimkim, mau ikut Miss dan Papa masak?" ajakku. Kimkim membesarkan mata, binarnya serupa saat diberikan es krim cup tadi, lalu dia melirik ayahnya. Ouch, ask permission, Darling? Mas Dinan menatapnya lalu bergeser kepadaku. Ada rasa khawatir tersirat. Kimkim membacanya, lantas menggeleng lemah. Aku mendekati Kimkim, mengangkat badannya untuk berjalan mendahului Mas Dinan sambil berkata, "Duh, berat banget sih baby Miss Sandra ini."

Mas Dinan diam membuntuti kami masuk ke dapur. Melihat kitchen set unit apartemen mereka membuatku tersenyum miris. Ibuku pasti makin betah tinggal di dapur, jangan berpositif Ibu akan memasak. Ibu betah di dapur untuk memastikan peralatan masaknya bersih dan lengkap. Ibu pecinta kebersihan dan melihat dapur sekinclong dan semahal ini pasti membuat dia makin rajin beres-beres. Itu sebabnya aku suka memasak, melengkapi Ibu yang tidak suka memasak tapi suka beres-beres dapur.

Aku mendudukan Kimkim di salah satu kursi dining. "Kita masak apa?"

"Sup."

Aku memeriksa belanjaan. Wortel, kentang, buncis, sosis, dada ayam, aqua... Mana yogurtku?

"Papa, open please." Kimkim menyodorkan botol yogurt ke Mas Dinan yang tersenyum canggung ke arahku.

"Ini punya Miss Sandra, Nak." Mas Dinan mengelus puncak kepala Kimkim lembut. Interaksi sederhana yang enak ditonton.

"Nggak apa-apa, Mas. Bukain aja buat Kimkim." Toh kamu juga yang bayar yogurtnya, suara iblis hatiku menolak kerugian. Aku mengambil aqua.

"Saya bantu buka." Belum sempat aku menjawab, Mas Dinan sudah merebut botol aqua digenggamanku, membukanya, lalu menyodorkan balik dengan senyuman manis. Malaikat pasti sedang bahagia ketika Tuhan menciptakan pria di depanku ini. Semua ekspresinya cakep.

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang