34

34.9K 5K 155
                                    

Mbak Murni terkikik berhasil menggodaku. Aku hanya mendengus kecil kepada Mbak Murni lalu memberi senyum simpul sembari membelai kepala Kimkim.

"Kapan Miss San jadi mama aku?"

Wah, unpredictable question. Ntar sodorin pertanyaan ini ke papanya aja. Akalku mendapat cara teraman saja terlepas dari pertanyaan ini.

"Kim, tanya papa saja ya kapan Miss Sandra jadi mama kamu." Biar miss jadi tenang menunggu waktu pernikahan, dewi culas dalam hatiku menambahkan.

Yyy

Aku menunggu panggilan teleponku diangkat oleh orang di seberang sana. Koridor rumah sakit sedang ramai, aku jadi mengungsi ke taman belakang demi mendapat kenyamanan berkomunikasi. Alasan sebenarnya karena aku tadi pamit ke kantin rumah sakit pada Mbak Murni dan Kimkim.

"Halo."

Ah, suara ini. Suara yang membuatku panas-dingin sejak pagi karena becandaanku yang menyinggungnya.

"Halo, mas."

Terdengar suara helaan napas di ujung sana. Aku mengutuk diriku yang terburu-buru menelepon di jam makan siang kantor. Dia pasti sedang sibuk.

"Kalo kamu mau bicara soal tadi pagi, sebaiknya simpan sampai saya datang ke rumah sakit nanti sore."

Dia langsung membuat kesimpulan sendiri soal aku. Padahal aku bukan menelepon Mas Dinan dengan alasan itu.

"Bukan itu, mas."

"Lalu?"

"Ini soal Kimkim."

"Kimmy kenapa, San?" Tanyanya panik.

"Kimkim baik. Nggak kenapa-napa. Tapi tadi itu-"

Bilang, nggak, bilang, nggak. Hatiku sedang mempertimbangkan seberapa penting persoalan ini bagi Mas Dinan.

"Apa, San?" Mas Dinan mulai tidak sabaran.

"Mbak Murni, mas, ngomong ke Kimkim kalo aku mau jadi mamanya."

Hening. Aku makin tidak sabaran menunggu balasannya. Aku menghentak-hentakan kakiku saking gemasnya.

"Terus Kimmy gimana?"

"Dia nanya kapan aku jadi mamanya. Aku nggak tahu jawab apa, jadi aku bilang nanti tanya ke papa aja. Nanti kalo mas ditodong pertanyaan sama Kimkim nggak kaget lagi."

"Oh."

Yakin 'Oh' aja? No more response? Aku panik loh dapat pertanyaan tadi.

"Maaass," suara rengekanku menarik perhatian seorang ibu yang sedang menggendong bayi. Segitu seeking attention ya rengekanku barusan? Padahal aku kira cute.

"Apa?" Suara Mas Dinan melembut.

"Kok gitu responsnya? Cuma 'oh' doang."

"Mau gimana? Saya juga belum ada pilihan kata untuk menjawab pertanyaan Kimmy. Saya belum lamar kamu ke orang tua kamu."

"Kapan mas mau ketemu orang tua saya?"

Aku menggigit lidahku saking antusiasnya mendengar kata 'melamar'. Mau banget!

"Setelah kita sepaham soal konteks 'kita'. Nanti sore kita bicarakan lagi."

Konteks 'kita'. Apa ya? Bikin berdebar gini.

"Mas yakin pulang sore? Kemarin mas bilang sore, datangnya malah jam tujuh. Ntar mas lembur nggak? Sorenya versi mas jam berapa? Nanti aku udah bilang Kimkim mas pulang sore, taunya mas pulang pas Kimkim udah tidur. Kan kesannya aku jadi bohongin dia."

Suara tawa Mas Dinan menyambut ocehan bertubiku. "San, saya usahakan pulang secepatnya. Jika lembur, saya beritahu kamu segera. Oke, sayang."

Ada selipan 'sayang'. Aku semakin ingin bermanja-manja. "Nggak usah pake sayang-sayang kalo datang ke sininya malam," ancamku dengan nada merajuk dibuat-buat.

"Fine, saya usahakan. Kamu sudah makan?"

Aku menggeleng. Mana Mas Ganteng tahu jawabanku. "Belum."

"Makan dulu. Mau saya pesankan makanan lewat aplikasi?"

"Nggak usah. Ngerepotin aja. Ini aku mau ke kantin." Aku tersenyum lebar menahan gelitikan nakal di dalam perut. Ya ampun, serangan bahagia ini benar-benar susah diatasi.

"Makan yang banyak ya. Kalo perlu sesuatu bilang ke Murni, biar dia yang beli."

"Aku bisa beli sendiri."

"Iya." Dia menyikapi penolakanku dengan dewasa. Kan, tambah demen.

"Mas udah makan?"

"Ini mau makan bersama teman."

"Temannya cowok apa cewek?" tanyaku antisipasi.

"Kenapa memangnya?"

"Nggak suka kalo cewek." Cewek kantoran jelas beda liga dengan guru TK yang kenal bedak tiap foto kelas doang. Aku mendadak gelisah.

"Kebetulan keduanya. Perempuan dan laki-laki."

"Duduknya deket yang cowok aja. Awas ya jangan macam-macam," pesanku rada mengancam.

"Satu macam aja kayak kamu. Cukup."

"Iihh apa sih? Yaudah sana makan. Tutup ya mas. Dah." Mukaku panas. Gombalannya receh tetapi bikin tersipu. Akh, Sandra, jaga imej. Jangan ketahuan baper dan naksir.

"Assalamualaikum."

Aku tergagap, tidak ingat pentingnya salam di awal dan akhir percakapan. Duh, apa kabar penilaian Mas Di terhadapku? "Waalaikumsalam," balasku tersendat.

Panggilan itu sudah berlalu lima detik yang lalu. Layar ponselku sudah berubah gelap. Anehnya, hatiku mendesirkan gelanyar aneh yang menyenangkan. Sesederhana ini bahagia, mendengar suaranya di telepon kemudian sejenak bisa tenang dengan peristiwa tidak mengenakan tadi pagi.

Aku memutar tumit. Tujuanku sekarang ke kantin. Namun mataku menangkap siluet orang yang tidak aku harapkan kehadirannya.

###


23/03/2020


Kamu stay di rumah aja?

Buat menghilangkan kebosanan karena stay di rumah, aku akan usahakan update cerita ini setiap hari biar kamu ga bosen. Yuk, kita sama-sama bantu menjalankan kampanye pemerintah buat stay di rumah demi kebaikan bersama 😇🙏 semoga kita semua selalu sehat dan dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Aamiin.

You TOLD Me SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang