BAB 4

1.5K 189 9
                                    

"Gimana?" tanya Jungkook setelah ia kembali ke lapangan basket.

Jongin menoleh dan mengacungkan jempol, "Uke lo sukses pulang nyeker sambil marah-marah."

Jungkook tertawa terbahak-bahak sambil menaruh tas dan kantung yang ia bawa di pinggir lapangan.

"Nyariin gue kan tadi?" tanyanya lagi.

Jungkook sudah mulai ikut bermain basket. Dia terus menghalangi langkah Jongin yang berusaha menyetak skor.

"Iyalah."

"Terus gimana?"

"Ya gitulah, kayak biasanya,"balas Jongin tidak berselera karena sudah terlalu sering ia ikut membantu Jungkook dalam hal mengerjai Namjoon.

Jungkook terus membayang-bayangi Jongin yang berusaha menerbos tubuhnya agar bisa bergerak maju. Bukan Jungkook namanya kalau tidak ada strategi di saat Jongin berusaha menerbosnya, pegangan Jongin pada bola basket sedikit melengah hingga pada waktu yang tepat saat Jongin berusaha menerbos kembali.

Jungkook segera merebut bola di tangan Jongin dengan mudah. Ia segera berlari menuju ring lain, berusha menghindar dari teman-temannya yang satu tim dengan Jongin untuk menghalangi langkahnya.

Pass!

Bola basket yang dilempar oleh Jungkook masuk sempurna ke keranjang basket dengan pin tiga karena ia melempar dari daerah dengan tiga angka.

Jongin menyumpah serapah Jungkook yang telah merebut bolanya, Jungkook menaikkan bahu dan tersenyum lebar sambil menggangkat tangan.

Jungkook terus menggiring bola hingga mendekat ke arah tiang. Namun mendadak, kepala Jungkook menjadi sangat sakit seperti sedang ditimpa oleh ratusan balok besi. Sakit sekali.

Jungkook memekik tubuhnya limbung hingga tergeletak ke lapangan. Rekan-rekan satu tim bakset langsung menghampirinya, begitu juga Jongin yang membatalkan niatnya untuk duduk sebentar di lapangan.

Ia langsung berlari panik menuju Jungkook yang begitu kesakitan, tubuh Jungkook sudah terbaring di lapangan dan dikelilingi oleh anak-anak basket. Jongin berusaha menyuruh teman-temannya untuk memberi ruang untuk Jungkook bernapas.

Jungkook yang berbaring sambil memejamkan matanya berusaha sekuat tenaga memegang kepalanya yang begitu sakit.

"Jungkook," panggil Jongin begitu khawatir dengan kondisi Jungkook yang mendadak jatuh seperti tadi. Kurang dari sepuluh menit, mendadak rasa sakit itu perlahan menghilang.

Jungkook segera membuka matanya kembali dan melihat teman-temannya begitu khawatir kepadanya.

"Lo nggak apa?" tanya salah satu temannya, Jungkook mengganguk mengiyakan.

Tangannya ia rentangkan untuk meminta bantuan untuk berdiri. Segera teman-temannya membantu. Jungkook berjalan sempoyongan ke pinggir lapangan dengan bantuan Jongin.

Jungkook tidak mengerti akhir-akhir ini dia sering sekali tiba-tiba merasakan sakit kepala yang begitu hebat seperti tadi. Jongin berusaha menenangkan dengan memberikan sebotol air mineral kepada Jungkook.

*****

Namjoon melangkah enggan memasuki rumah besar dan mewah itu, langkahnya semakin berat ketika kakinya hampir menepak masuk. Terdengar suara gurauan dari dalam rumah, suara tawa seseorang yang sangat ia kenal, tawa yang tidak pernah terbagi untuknya sedikit saja.

Ia menelan salivanya ketika suara itu tiba-tiba lenyap saat menyadari Namjoon datang. Selalu begitu seakan Namjoon adalah penyakit yang amat bahaya yang harus di hindari.

Dengan cuek, Namjoon berlalu meninggalkan sepasang suami istri dan anak kesayangannya yang sedang bercengkerama di ruang tamu.

Lantai tiga rumah itu nampak sepi seperti biasanya, pasalnya hanya ada kamar besar miliknya yang bersebelahan dengan gudang dan balkon yang di desain sangat besar dan luas, di kamar ini Namjoon sangat kesepian. Ayahnya sengaja membelikan fasilitas lengkap untuknya seakan dia tidak boleh mengganggu kehidupan keluarga ayahnya. Semua fasilitas tersusun rapi di kamarnya contohnya seperti alat pendingin yang berisi berbagai makanan dan minuman, dan yang lainnya.

Namjoon segera melempar tasnya asal dengam masih menggunakan seragam sekolah, Namjoon langsung pergi menghampiri pianonya dan jemarinya yang mulai memainkan tuns piano dengan terampil dan mata terpejam.

Namjoon sedikit lebih tenang, setidaknya dengan memainkan pianonya itu bisa menyegarkan otaknya yang sepet jika menggingat bagaimana kehidupan sehari-harinya yang tiap hari bertengkar dengan Jungkook.

Namjoon memandang ke arah pianonya, entah mengapa satu bayangan wajah yang berada di pikirannya adalah Jungkook, seseorang yang sangat ia benci hanya karena hal sepele.

Ia tidak mengerti bahwa hanya karena sebuah sepatu, ia bisa menjadi musuh seperti ini dengan seseorang. Apalagi mengingat jaman kelas sepuluh dulu, Jungkook terkenal sebagai sosok yang tidak terjangkau dan jarang peduli dengan sekitarnya walaupun dia tahu itu dari anak-anak kelasnya yang hobi bergosip.

Kalau dirinya, Namjoon tahu pasti. Ia memang hobi cari gara-gara, Namjoon menghela nafas dalam, tanpa terasa tangannya yang berada di tuns piano mulai kembali memainkan piano dan bibirnya yang mulai bergumam menyanyikan sebuah lagu.

Namjoon membuka matanya terkejut ketika ia melihat ayahnya sedang berada di kamarnya yang sedang berbicara dengan seseorang.

"Appa ngapain di sini?" tanya Namjoon

"Appa memasang peredam suara agar suara piano sialan mu itu tidak mengganggu keluarga appa yang butuh istirahat."

Namjoon menelan salivanya kasar dan menatap ayahnya dengan tatapan tidak percaya. Sebeginikah ia tidak di inginkan?

"Namjoon bisa berhenti main piano, tapi Joonie mohon jangan semakin mengasingkan Joonie." ucap Namjoon sambil menggigit bibir bawahnya berusaha menahan air matanya untuk tidak keluar tapi gagal. Ia sangat benci menjadi cengeng.

"Semenjak kamu menderita penyakit sialan itu, kamu memang sudah menjadi orang asing untuk keluarga appa!" Namjoon diam dan menunduk.

Namjoon berdiri ketika melihat ayahnya selesai memasang peredam suara. Namjoon mendekati meja riasnya menatap cermin yang ada di sana, tersenyum miris menertawakan hatinya yang masih saja mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin kembali.

Ia mengambil sebuah kertas yang tergeletak di meja riasnya. Ia bahkan tidak percaya bahwa ia menderita penyakit langka, penyakit yang bahkan tidak akan pernah bisa disembuhkan. Penyakit yang membuatnya di asingkan di keluarganya, dan ia membenci dirinya sendiri beserta penyakit sialan itu.

*****

Sorry banyak typo mwhehehehe...
Jangan lupa buat vote, komen, dan share ke temen temen kalian y

See yu♡

MONOKROMASI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang