BAB 42

1.2K 143 10
                                    

Bruk!

"Sorry, gue gak.. Jungkook?"

Jungkook menatap Hoseok yang baru saja menabraknya, lalu tersenyum tipis.

"Bisa bicara sebentar?"

Hoseok mengerutkan dahinya bingung, lalu menganggukan kepalanya.

*****

Kemarin Joonmyeon tidak bisa tidur. Hanya melihat jejeran kalimat yang terangkai menjadi laporan, menutup laptopnya yang memutar cctv tersebut.

Mengusap wajahnya kasar, menyenderkan tubuhnya di kursinya. Menatap langit-langit ruang kerjanya, matanya mulai memanas.

Joonmyeon menundukkan kepala, ia mengingat kenangannya bersama Namjoon, kenangan indah yang membuatnya terkekeh pelan.

"Appa, takut"

"Hei jagoan appa, jangan takut. Ini hari pertama mu sekolah, appa tunggu di sini" Joonmyeon mengelus rambut Namjoon sayang.

"Enggak mau, appa ayo"

"Jagoan, kalau sudah sekolah tidak boleh takut seperti ini. Lihat, teman-teman lain tidak membawa appa mereka masuk. Apa Joonie tidak malu?"

"Umm" Namjoon masih setia menggenggam erat tangan Joonmyeon.

"Permisi tuan Kim, jika Namjoon masih takut tidak apa-apa menemaninya di dalam."

"Ah, baiklah. Ayo jagoan, appa temani"

Baru kemarin rasanya ia mengantar Namjoon sekolah, sekarang sebuah kenyataan menampar egonya yang terus memperlakukan Namjoon keras dan berbeda dari ketiga anaknya.

Senyum di wajah Joonmyeon berubah menjadi penyesalan ketika ia mengingat semua perbuatanya, sungguh ia sangat terpukul dan menyesal.

"Appa, lihat. Joonie membuat gambar, lihat appa"

"Hm"

"Appa.."

"Appa sibuk, mainya di luar saja"

Joonmyeon masih ingat tatapan kekecewaan yang Namjoon perlihatkan padanya.

Rasanya... Sakit!

Ayah macam apa dia? Dia bahkan tak pantas di panggil ayah.

"Appa sama eomma kenapa tidak jemput Joonie seperti anak-anak lain?"

"Namjoon jangan jadi anak manja, saya dan istri saya sibuk. Kamu juga masih punya kaki"

Bodoh!

Satu kata yang pantas terucap untuk seorang Kim Joonmyeon, kenapa? Kenapa ia baru tahu jika Namjoon, anaknya tidak bersalah. Setelah apa yang ia lakukan padanya.

"Appa, Joonie mohon jangan"

"Saya tidak peduli kamu harus mati!" Joonmyeon memasukan tangan Namjoon ke dalam panci yang sedang di rebus.

Namjoon menahan tanganya, ia tahu air di dalam panci itu sangat panas. "Appa, itu panas. Joonie gak mau, jangan!"

"Saya tidak peduli, ini semua belum seberapa dengan rasa malu yang saya terima dari anak cacat seperti mu"

Akhirnya tangan Namjoon masuk ke dalam panci itu, Namjoon berteriak kesakitan. "Panas, panas, tangan Joonie panas! Appa ampun!  Maafin Joonie! Tolong!"

Joonmyeon menangis. Pertama kalinya ia menangis. Bahkan saat kepergian orangtuanya saja ia tidak mengeluarkan air matanya, namun sekarang hanya karena Kim Namjoon, seorang anak yang ia anggap cacat dan tak pantas menjadi salah satu keluarganya.

Prank!

"Kamu, apa yang kamu lakukan anak pembawa sial. Berani sekali kamu memecahkan guci ku" Joonmyeon berteriak marah pada Namjoon.

Namjoon menunduk, "Maaf appa, Joonie gak sengaja" ucapnya lirih.

"Saya gak percaya, pasti kamu sengaja" Joonmyeon menarik tangan Namjoon, lalu menekan telapak tangan Namjoon ke pecahan-pecahan guci yang berserakan.

Darah segar terus mengalir dari tangan Namjoon, ia terus menangis menahan rasa sakit dan perih di telapak tanganya.

"Ini hukuman buat anak seperti kamu" Joonmyeon semakin menekan tangan Namjoon.

"Ampun appa, sakit.. Joonie gak bakal ulangi lagi"

"Dasar, pembawa sial."

"Berengsek! Kenapa kamu tidak mati saja, menyusahkan!" pukulan demi pukulan selalu Joonmyeon berikan pada tubuh Namjoon kecil.

Namjoon berusaha melindungi kepalanya dari pukulan Joonmyeon, "Ampun appa, maafin Joonie"

Namjoon terisak merasakan seluruh tubuhnya sakit.

"Sialan!" umpat Joonmyeon, lalu pergi begitu saja meninggalkan Namjoon yang sedang terluka.

Joonmyeon tersenyum tipis, menatap foto Namjoon yang tersenyum cerah di meja kerjanya. Air matanya terus mengalir beserta penyesalan yang terus bertambah besar.

Dulu ia semakin benci menatap senyum itu, ia ingin menghilangkan senyumnya, namun sekarang senyum itu seakan menamparnya. Sekarang, seorang Kim Joonmyeon yang selalu berusaha menghilangkan senyum seorang Kim Namjoon merasa tersesat, ia ingin melihat senyum itu lagi.

Tawa kecil Namjoon terngiang di kepalanya, seakan sedang menghukumnya betapa buruknya ia. Ia benar-benar bukan ayah yang baik untuk Namjoon.

Sekarang apa yang bisa dilakukan Joonmyeon? Ia tak tahu dimana Namjoon berada. Ingin minta maaf dan memperbaiki keadaan, percuma ia tak tahu kebenarannya.

Menyesal?

Tentu saja ia sangat menyesal, ternyata benar kata orang, menyesal selalu datang di akhir.

Namjoon, maafin appa.

*****

MONOKROMASI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang