-
Aku menelitinya dari atas ke bawah. Perawakannya kurus, kecil, kuyu, bawah matanya cekung seperti kurang tidur.
"Pak, saya kan sudah mengaku salah. Apa saya masih dipenjara juga? Pak, lima tahun itu lama. Saya mohon di-" pintanya sambil mengiba.
"Ini sel tahanan sementara. Jadi keputusan vonis nanti setelah sidang di pengadilan," potong petugas kepolisian itu yang kemudian berlalu pergi.
"Kenapa kau sedih begitu?" tanyaku.
Dia sepertinya hampir menangis. Tubuhnya langsung lunglai begitu petugas kepolisian itu pergi.
"Aku diancam hukuman lima tahun penjara," ucapnya lirih dengan pandangan kosong.
"Bah, kau cuma lima tahun saja sudah lemas begitu. Aku ini diancam lima belas tahun penjara. Tiga kali lipatnya hukuman kau. Aku baru saja membunuh saudara iparku yang ribut soal harta warisan dengan istriku. Tak sengaja sebenarnya karena membela diri sebab istriku hampir saja digorok sama ipar bejatku itu. Tapi polisi-polisi itu tetap menahanku untuk penyelidikan katanya," aku mendecih.
"Aku juga membunuh tapi aku tak tahu bahwa aku bisa membunuh."
"Bah, semua orang bisa membunuh, Bung. Kau masih punya tangan kan?"
Dia menggeleng. "Tidak. Aku tidak membunuh dengan tanganku."
"Lalu?" aku penasaran.
"Aku membunuh dengan lisanku. Dengan lidahku. Aku menebar berita yang membuat banyak orang salah paham hingga mereka berselisih dan saling bunuh. Aku tak tahu ternyata berita itu berita bohong."
"Tapi kau kan tidak membunuh orang-orang itu secara langsung."
"Tapi akulah yang memulai..."
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Mini Stories: Part Two [COMPLETED]
RandomMari ngopi Akan kuceritakan cerita-cerita yang kudengar dari mereka sekali lagi Sekuel Mini Stories