BEKAS LUKA (2)

30 4 0
                                    

-

Wanita itu tertunduk diam sementara sang suami berteriak memohon agar dirinya dibebaskan.

"Pak, tolong kerjasamanya. Anda akan kami periksa di ruang terpisah," ucap salah seorang petugas polisi, yang memegangi tangan pria itu, dengan nada tak sabar. Berkali-kali pegangannya hampir lepas karena si pria meronta-ronta.

"Rus, kamu bakal bilang sama polisi-polisi ini kan kalo ini semua salah paham? Kamu janji kan?" kata pria itu berulang-ulang yang tak ditanggapi sang istri.

"Baik, Bu Rusmini--"

"Berapa lama, Pak?"

Kami berkata berbarengan.

"Ah, gimana, Bu?" aku akhirnya malah bertanya pada wanita di depanku karena tak mengerti maksud pertanyaannya.

"Berapa lama hukuman yang akan dia jalani?" wanita itu bertanya tanpa memandangku.

"Kami harus menunggu hasil visum dan autopsinya keluar, Bu. Setelah itu kami lakukan penyelidikan. Kalau sudah terbukti Pak Djaelani pelakunya, baru vonis akan dijatuhkan."

"Sepuluh tahun? Dua puluh? Seumur hidup?"

"Kalau terbukti pembunuhan berencana mungkin bisa dua puluh atau seumur hidup..." aku melanjutkan dengan ragu, "bahkan hukuman mati."

Wanita itu mendesah panjang.

"Pria itu benar-benar iblis! Bagaimana bisa dia menyiksa anaknya sendiri sampai mati saat saya banting tulang jadi TKI?" Bu Rusmini bercerita dengan suara lirih tapi kentara sekali dia sedang menahan amarah. Kehilangan anak satu-satunya tentu bukan hal mudah bagi seorang ibu.

"Saya turut prihatin, Bu, atas kejadian ini. Tapi penyelidikan harus tetap berjalan sehingga meski Ibu masih dalam keadaan berkabung, kami tetap harus menanyai Ibu tentang kasus ini."

Wanita itu mengangguk paham.

"Kemarin saat jenazah anak saya dimandikan, saya melihat banyak sekali bekas luka." Bu Rusmini bercerita lagi.

"Saya tidak bisa membayangkan bagaimana selama ini dia menahan perihnya siksaan bapaknya dan saya merasa berdosa telah meninggalkan dia untuk bekerja di luar negeri."

Aku tak tahu harus menjawab apa tapi aku merasa punya kewajiban untuk menanggapi.

"Bu, saya memang belum punya anak. Saya juga bukan seorang ibu. Tapi saya bisa memahami perasaan Ibu. Saya hanya bisa berpesan agar Ibu tetap kuat seperti halnya anak Ibu. Yakinlah, setiap kejadian pasti ada hikmahnya."

Wanita itu tersenyum getir sambil terus menunduk.

-

Mini Stories: Part Two [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang