-
"Akabin pole?" Eppak berteriak geram pada kakak perempuanku yang datang ke rumah sambil menangis.
"Lakekna bekna pajet gendheng! Gendhengnga oreng sakampong mon ngakruwa." Eppak masih geram. Suaranya yang menggelegar khas orang Madura menambah seram wajahnya yang memang sudah seram. Berkumis tebal, berkulit hitam, tinggi, besar.
Sementara Eppak masih mengoceh dalam bahasa Madura, kakak perempuanku cuma bisa menangis. Aku jadi penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba kakak perempuanku masuk ke kamar yang dulu jadi miliknya sebelum menikah. Dia menangis sesenggukan. Akupun mendekat.
"Badha apa? Bekna arapa mak nangis?" tanyaku.
"Mas Fadhil..." dia menyebut nama suaminya di tengah isak tangisnya, "terro akabin pole."
"Apa? Dia ngomong begitu sama kamu, Mbak?" kakakku membalas pertanyaanku dengan anggukan.
"Alasannya?"
"Aku belum bisa kasih dia anak setelah lima tahun menikah. Trus dia bilang mau nikah lagi biar bisa punya anak. Dia beralasan kalo tujuan nikah apalagi kalo bukan punya anak. Padahal aku udah ngasih saran buat nyobain bayi tabung, atau ke dokter, ke pak ustad, ke mana ajalah asal bukan poligami. Aku ga ikhlas."
Aku terdiam. Aku yang belum menikah ini rasanya enggan berkomentar sesuatu yang tidak aku ketahui.
"Apa laki-laki semua begitu? Bisa dengan enaknya bilang mau poligami. Alesannya istri nggak bisa kasih anak lah, sunnah rasul lah. Kalau istri nggak setuju dibilang nggak setuju sunnah rasul. Lha, sunnah rasul kan banyak. Ada tahajud tiap malam, puasa Senin-Kamis, dan lain-lain. Kenapa harus poligami?" kakakku sesenggukan lagi.
"Padahal menikah itu kan ibadah suci. Menikah nggak gampang. Jadi suami lebih nggak gampang lagi. Tanggung jawabnya ke istri dan anak besar. Kalau lelaki tahu agama harusnya malah lebih berhati-hati lagi untuk nggak nyakitin hati istri. Ini kok... Engkok tak ngarte pole kodu beremma."
Saat sedang asyik-asyiknya mengobrol begitu, tiba-tiba Embuk datang tergopoh-gopoh dari belakang sambil membawa sodet.
"Eppak! Eppakna bekna ruwa. Aduh, beremma reya?" Embuk mengacung-acungkan sodet sambil teriak tak jelas.
"Badha apa, Mak?"
"Eppak. Eppak ka bengkona Fadhil. Terro acarok cakna. Ngiba celurit. Buru ka dissa'. Engkok takok mon badha se mate."
Begitu Embuk selesai bicara, aku dan kakakku langsung kabur ke rumah Mas Fadhil. Aku berdoa dalam hati semoga hari ini tidak ada yang mati.
-
A/N.
• Akabin pole = menikah lagi
• Eppak = Bapak
• Lakekna bekna pajet gendheng = suami kamu itu memang gila
• Gendhengnga oreng sakampong mon ngakruwa = gilanya orang sekampung kalau begitu
• Badha apa = ada apa
• Bekna arapa mak nangis = kamu kenapa kok nangis
• Terro akabin pole = mau menikah lagi
• Engkok tak ngarte pole kodu beremma = saya tidak tahu lagi harus gimana
• Embuk = Ibu
• Eppak! Eppakna bekna ruwa! Aduh, beremma reya? = Bapak! Bapakmu itu! Aduh, gimana ini?
• Eppak ka bengkona Fadhil = Bapak ke rumahnya Fadhil
• Terro acarok cakna = mau berantem katanya
• Ngiba celurit = bawa celurit
• Buru ka dissa' = cepetan ke sana
• Engkok takok mon badha se mate = saya takut kalo nanti ada yang mati
KAMU SEDANG MEMBACA
Mini Stories: Part Two [COMPLETED]
De TodoMari ngopi Akan kuceritakan cerita-cerita yang kudengar dari mereka sekali lagi Sekuel Mini Stories