-
"Enaknya kita ngundang berapa orang, Yang?" tanya Baskara, calon suamiku.
"Kita ga usah ngundang siapa-siapa, Mas. Cukup keluarga deket aja pas ijab qabul," jawabku.
"Ka-kamu yakin?" dia justru nampak terkejut.
"Yakin seratus persen. Kenapa sih emangnya?"
"Biasanya kan justru cewek yang suka bikin resepsi. Ngatur ini itu. Kamu takut uang kita ga cukup ya? Nanti aku bisa pinjem uang ortuku dulu."
Aku menggeleng. "Ga usah, Mas, beneran. Uang tabungan kita cukup banget kok buat persiapan kita nikah. Nikah kan sekarang gratis. Palingan nanti kita tinggal pesen nasi box aja buat kita bagiin ke tetangga-tetangga sekitar dan temen-temen buat kasih tahu kalo kita udah menikah. Udah itu aja."
"Tapi, Yang, masa kamu ga pengen nikahan pake resepsi? Kan ini momen seumur hidup sekali. Apalagi kamu anak perempuan terakhir. Pasti ortu kamu pengennya ada resepsi dong." Baskara justru khawatir melihat tanggapanku.
"Kalo ngomong ke ortuku itu biar jadi urusanku. Aku yang menghendaki ini. Bukan karena ga ada uang tapi buat memilih dan memilah mana yang penting dan enggak. Resepsi kan ga wajib. Dalam agama juga ga ada keharusan bikin resepsi kok. Yang penting sahnya pernikahan. Iya kan? Lagipula mau resepsi kita mewah atau sederhana pasti akan ada mulut-mulut nyinyir yang mencela. Jadi buat apa ngabisin duit buat menyenangkan orang lain biar kita dipandang baik?"
Baskara masih termenung.
"Kalo nanti kita dikira MBA gimana?"
Aku tergelak. "Yang penting kan kita ga begitu. Mas, kita emang ga bisa mengatur mulut orang-orang buat ngomong apa. Tapi kalopun dighibahin ya anggep aja dosanya kita mereka yang nanggung. Udahlah. Ngapain omongan orang dipikir? Ga bakal ada habisnya. Capek!"
Baskara berkaca-kaca. "Alhamdulillah aku akan menikahi wanita yang baik."
Aku memukul bahunya. "Gombal!"
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Mini Stories: Part Two [COMPLETED]
De TodoMari ngopi Akan kuceritakan cerita-cerita yang kudengar dari mereka sekali lagi Sekuel Mini Stories