Petaka Tali Jemuran

6.6K 444 22
                                    

#Episode_5

🍂🍂🍂

Tak kenal maka kenalan. Itulah harusnya pepatah yang benar.  Setidaknya, kalau sudah kenalan pasti akan tahu bagaimana watak Karakter seseorang yang sebelumnya hanya melalui prasangka semata, hanya sebatas menerka-nerka apa yang didengar dan dilihat tanpa tahu kebenarannya secara pasti dari sosok yang diamati.

Sore menjelang malam, cuaca cukup bersahabat dengan kami. Langit biru mulai memudar, semburat jingga terlukis indah di angkasa. Atas saran pak ketua alias Syarif, akhirnya sekarang aku dan tiga temanku kecuali Ilma, di sebuah rumah yang tak jauh dari posko.

Hanya terhalang sebuah rumah tua berarsitektur kuno berwarna hijau yang menyekat. Ini adalah rumah pak sekretaris desa dan keluarga. Sebelumnya Syarif diminta oleh pak Sekdes, untuk main ke rumahnya. Tapi baru terlaksana sore ini. Dengan alasan klasik yaitu Malu. Sungguh alasan yang tak pantas dijadikan alasan.

Akhirnya setelah cukup waktu berbincang-bincang dengan Keluarga ini, ternyata tak semenyeramkan yang dikira. Justru keluarga pak Sekdes ini terbilang cukup baik dan welcome terhadapku dan teman-teman.

Beliau bilang, kalau tim KKN sebelum nya pun sering main disini, bahkan sampai ikut mandi, ikut shalat, dan ikut makan, awalnya memang sungkan tapi setelahnya bisa beradaptasi dengan baik. Ya mungkin karena kami masih baru, jadi bisa dibilang wajar kan kalau masih dalam tahap adaptasi?

Dua anak-anak pak Sekdes pun tak kalah antusias dengan kehadiran kami di rumahnya. Anak pertama bernama Kiki, ia duduk di bangku kelas satu SD. Anak itu mudah sekali akrab, terutama dengan Rahman, dan anggota tim laki-laki lainnya.  Berbeda dengan anak perempuan yang bernama Kiara, seorang gadis kecil berusia empat tahun yang menggemaskan, tubuhnya gendut pipinya tembem dan matanya bulat, sangat lucu. Tapi sayangnya ia pemalu, sejak kami tiba di rumahnya, ia tetap duduk di pangkuan ibunya.

Arina, Dita sudah membujuknya untuk bermain dengan kami tapi ia tetap bersikukuh tak mau lepas dari ibunya.

Sementara kaum Adam berangkat ke masjid, kami sebagai kaum hawa sholat di rumah secara bergantian. Selepas itu, Ibu sekdes mengusulkan untuk membuat nasi liwet sebagai menu makan malam sekaligus sebagai tanda perkenalan resmi. Aku yang kebetulan tidak sholat kebagian membuat sambal.

Hari itu, kami ngobrol ngalor ngidul, mulai dari membahas masalah politik, masalah pekerjaan, masalah kuliah, hingga berujung pada masalah pribadi yang tak jauh dari kata "Jodoh". Entah kenapa ya tiap singgah di tempat manapun, kata jodoh tak pernah terlewatkan. Apa memang topik bahasan tentang jodoh selalu semenarik itu?

Buatku pribadi, aku tak terlalu ambil pusing tentang hal itu. Toh semuanya pasti sudah diatur oleh yang Maha Kuasa, tapi tak lupa dengan ikhtiar pula. Untuk ikhtiar secara konkret tidak melulu harus dengan cara pacaran saja kan? Bisa dengan cara ikhtiar dari diri sendiri terlebih dulu, misalnya membenahi diri, memantapkan diri dan hati, serta pastinya berdo'a. Menurutku seperti itu sudah cukup, bagaimana?

Adakah yang mau menambahkan?

Ibu sekdes ini bernama Esti Kemala. Orang-orang biasa memanggilnya ibu Esti, selain menjadi istri dari seorang sekretaris desa, beliau juga seorang guru TK. Jadi pembawaannya cukup menyenangkan, ceria, cukup lembut dan penuh kasih sayang, mungkin kebiasaan sering berbaur dengan anak-anak di sekolah.

Saat tadi bercerita, beliau bilang ketika menikah dengan bapak sekdes alias pak Usman, beliau masih dalam usia cukup muda, yaitu 19 tahun. Sedangkan pak Usman sudah berusia 31 tahun. Usut punya usut, Pak Usman sudah mengincar Bu Esti saat masih sekolah. saat pulang sekolah itulah momen yang membuat pak Usman tertarik pada Bu Esti, Karena hampir tiap hari mereka berpapasan di jalan.

KKN - Kuliah Khitbah Nikah (COMPLETED - Proses REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang