Sakit tak Berdarah

4.6K 326 3
                                    

#Episode_13

🍂🍂🍂

Kesuksesan kegiatan kami sampai sejauh ini berkat kerjasama tim yang beberapa waktu ini kami lakukan.

Susah, senang, diiringi beberapa bumbu perdebatan kecil diantara tim adalah sebuah hal wajar, menurut ku. Perbedaan pola pikir, diantara kami pun menjadi pemanis alami dalam tim kami. Tapi hal itu bukanlah hal besar, kami mampu dan bisa melewati nya dengan baik.

Hari demi hari berlalu begitu cepat, aku tinggal di desa ini menginjak pekan ke empat. Tali silaturahmi diantara kami sudah cukup erat. Aku pribadi sudah mengenal karakter masing-masing, baik buruknya sudah mulai hapal di luar kepala. Terlepas dari semua karakter yang telah ku ketahui itu. Ada satu hal yang belum sempat ku pahami.

Sebuah rasa yang belakangan menjadi satu hal yang cukup membuatku dirundung kegelisahan dalam jiwa. Belum ada yang tahu persoalan ini. Meski beberapa kali mereka sempat mengelu-elukan sikap kikukku yang tiba-tiba muncul saat dia menunjukkan sikap manisnya di hadapan teman-teman satu tim ku.

Aku bukan lah orang yang pandai menyembunyikan perasaan. Kegelisahan yang ku rasa sepertinya telah tercium oleh mereka. Arina salah satunya. Ia menyadari bahwa aku sedang merasakan sesuatu yang berbeda.

"Vya ..." Arina menghampiriku di ruang tamu. Aku tengah mengerjakan beberapa hal di dalam laptopku.

"Kenapa, Rin?"

"Kamu ada sesuatu ya sama Rahman?" Tanyanya spontan.

Kegiatan mengetik yang sedang kulakukan terhenti. Jari jemari ku terulur pada laptop, meletakkannya di atas meja kaca.

Kebetulan hari ini teh Erni dan Dita sedang ada keperluan keluar. Dan Ilma pun sedang pulang karena suaminya sedang pulang dari tempat kerjanya di daerah selatan kabupaten Tasikmalaya.

Nawa dan Reyhan pun sedang izin pulang ke pesantren sebentar. Karena ada acara yang harus mereka hadiri. Dan yang lainnya sedang tidur di kamar, karena mungkin masih capek dengan acara beberapa hari terakhir. Jadi suasana posko sedang sepi.

Aku membenarkan posisi dudukku. Menghadap ke arah Arina, menaikkan kedua kakiku ke atas sofa.

"Kamu kok mikir gitu?"

"Yaahhh ... Aku liat beda aja, Rahman juga kayaknya perlakuannya beda sama kamu." Arina menghentikan jari-jarinya yang tengah mengetik pesan di WhatsApp.

"Ah apa sih, Rin. Enggak kok. Biasa aja, dia kan emang gitu sama yang lain juga. Sama kamu juga kan sering tuh manggil 'bebeb' terus kamu kan manggil dia 'kakang prabu' iya kan?" Jawabku.

"Ya ampun ... Itu kan cuma bercanda, Vy. Aku kan sama yang lain juga suka suka bercanda." Arina tertawa.

"Yah Rahman juga pasti gitu lah, Rin. Dia persis kayak kamu. Suka bercanda sama orang, termasuk sama aku. Kalau kamu liatnya aku makin deket sama Rahman, ya wajarlah. Kita kan piket nya bareng, terus pernah beberapa kali boncengan di motor. Terus sering ngaji sama anak-anak di mushola juga. Jadi gitu lah ..." Jelasku.

"Tapi kamu ada hati gak sama dia?" Arina masih sedikit tertawa.

"Hem ... Enggak tuh kayaknya." Aku menggeleng pelan. Nyengir pada Arina.

Seperti dugaanku. Pertanyan Arina pasti berdasar pada perlakuan Rahman padaku belakangan ini, baik secara langsung maupun melalui via aplikasi pesan online. memang kurasakan berbeda dengan yang lain.

Tapi aku enggan membenarkan rasa itu, aku tak ingin memberi peluang pada diriku, cukup satu laki-laki yang menoreh luka sedalam samudera dalam hatiku. Aku tak ingin kembali terluka, bahkan sampai detik ini lukaku belum mengering dan mungkin tak akan pernah kembali seperti semula.

KKN - Kuliah Khitbah Nikah (COMPLETED - Proses REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang