Terpelecok di Karpet Hijau

2.9K 252 0
                                    

Haiii ... Happy reading ya 🤗

Episode 23 nih ya, Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu membaca cerita ini 🙏🏼

🌺🌺🌺

Setelah makan dengan jatah nasi box konsumsi acara seminar, cacing-cacing di dalam perut pun sudah mulai tenang tak lagi berdemo seperti tadi saat belum diberi jatah.

Setelah itu, aku lantas kembali ke kamar bersama Arina, Dita dan Ilma. Kami beristirahat sejenak, melepas penat, dan segala beban yang dipikul bahu. Sementara Erni tengah asyik ngobrol dengan teman-temannya yang sedari tadi membuat kegaduhan di posko.

Pagi tadi, saat Pak Kades membuka acara seminar, beliau mengajak kami semua untuk ngaliwet lagi di rumahnya. Dan pasti lah akan disambut dengan tangan terbuka oleh kami semua. Apalagi Syarif dan Otong yang selalu paling antusias jika menyangkut urusan yang satu itu.

Tidur siang menjelang sore ku terganggu ketika kantung kemih terasa penuh dan berat. Akhirnya dengan langkah kilat aku lari ke kamar mandi.

Syarif dan lainnya masih terlelap di ruang tengah dan di kamar, mereka juga pasti sama lelahnya denganku. Aku mengamati mereka satu persatu. Wajah-wajah asing yang lambat laun ku kenal, dan kurang dari sepekan akan kembali menjadi asing. Kami akan kembali berpisah, hatiku terasa berat, mereka sudah seperti keluarga, 24/7 kami hidup bersama, dengan aneka macam cerita yang mungkin akan terkenang dalam benakku.

Aku juga baru sadar kalau tamu-tamu yang tadi sempat bertandang ke posko sudah tak terlihat. Dan aku tak tahu kapan mereka meninggalkan tempat ini. Mungkin saat tadi aku terlelap dalam mimpi-mimpi yang tak jelas rimbanya.

"Neng ..." Rahman tampak baru saja terjaga dari tidurnya. Saking terburu-buru ke kamar mandi, aku hampir tak melihatnya tidur di sofa ruang tamu depan kamar.

"Iya, A?" Aku berhenti di depan pintu kamar.

"Tadi saya cariin, kok malah pulang duluan?" Rahman mengubah posisinya, duduk bersandar pada sofa.

"Oh itu, tadi kan A Rahman sibuk sama temen-temen yang lain. Terus kerjaanku tadi udah beres, ya mau ngapain lagi, mending pulang." Jawabku nyengir.

Sejak hari itu, sikapnya terasa begitu manis seperti cokelat yang tempo hari ia berikan. Aku tak pernah mengira jalan hidup yang harus ku jalani akan seperti ini. Mengenal sosok seperti Rahman tak pernah ada dalam bayanganku sama sekali.

Memang benar manusia hanya mampu berencana, selebihnya Allah yang menentukan segala sesuatunya. Aku percaya, apapun yang terjadi dalam hidup ku, entah baik ataupun buruk sekalipun, itu adalah yang terbaik menurut-Nya. Termasuk hal ini, mengenal sosok Rahman lebih jauh sepertinya merupakan rentetan peristiwa yang harus kujalani.

"Ikut saya ke rumah yuk?" Ujarnya, sambil mengoperasikan ponsel.

"Rumah siapa?"

"Rumah saya lah, Kakak saya mau ketemu katanya." Jawabnya lagi.

"Ih ngaco ..." Aku tertawa kecil.

"Kok ngaco? Ini beneran, nih liat chat nya." Rahman memperlihatkan room chat di ponselnya. Tapi sayang aku enggan untuk melihatnya.

"Duduk sini deh sebentar," Rahman menepuk sofa di sampingnya.

Tombol program di kakiku membawa langkahku untuk duduk di sofa yang sama dengan Rahman. Dari ujung ke ujung, kami duduk dengan spasi yang cukup lebar. Aku tidak tahu pasti apakah debaran jantung ini normal atau tidak, berada di dekatnya kerap membuatku merasa aneh. Berbeda saat aku dekat dengan Syarif atau yang lain.

KKN - Kuliah Khitbah Nikah (COMPLETED - Proses REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang