#Episode_7
🌼🌼🌼
Setelah pulang, aku merasa energiku kembali terisi, full charged rasanya. Apalagi setelah bertemu ibu.
Benar apa yang dikatakan Princess Diana,
'A mother arms are comforting than anyone else's.'
Rasanya semakin semangat melakukan aktivitas. Setidaknya itulah yang kurasakan. Sore yang cerah, matahari pun masih setia memberi cahayanya pada bumi dibagian yang kupijaki.
Sore-sore seperti biasa, selepas shalat ashar dan setelah bersih-bersih, aku dan empat teman perempuan lainnya beranjak melewati kolam ikan, hamparan sawah, sungai kecil dan pemandangan lainnya. Tujuanku adalah ke rumah Ibu Yuyun salah satu anggota PKK, untuk berlatih nyanyi dengan tim paduan suara dan juga berlatih senam sehat. Persiapan event besar Desa beberapa waktu mendatang.
Di tengah-tengah perjalanan, di tepi sawah, kami mengambil sebuah foto wefie. Tujuannya untuk membuat status di aplikasi media sosial. Ya memang seperti itu, rasanya kalau tidak membuat status di aplikasi warna hijau itu hampa.
Setibanya di rumah Bu Yuyun, kami tidak langsung memulai latihan. Dikarenakan ibu-ibu yang lain belum hadir. Maklum saja, ibu-ibu itu kan memiliki kesibukan luar biasa, dibandingkan aku dan teman-teman yang hanya mengurusi diri sendiri saja.
Sedangkan mereka? Ada suami dan anak-anak yang membutuhkan perhatian nya. Jadi aku pribadi memahaminya dengan hati senang. Toh sebelum latihan dimulai, kami bisa lebih banyak waktu untuk ngobrol-ngobrol dengan ibu yang sudah hadir.
"Nanti pokonya harus main ke rumah teteh ya, Say ..." Ujar salah satu perempuan bernama Teh Nonik.
"Siap Teh Say ..." Jawab Dita dan Arina antusias.
Perempuan berpostur tubuh berisi, cukup tinggi, dan berkulit putih bersih. Penampilan dan casing luarnya terlihat seperti perempuan berusia kepala tiga. Padahal katanya ia sudah menginjak angka kepala empat. Ia menceritakan sebagian kisah hidupnya padaku dan teman-teman, juga pada Ibu-ibu di sana. Di sela-sela menunggu waktu latihan.
Orang yang paling nyambung diajak berceloteh oleh Teh Nonik adalah Dita dan Arina, mungkin karena mereka basic nya adalah orang yang humble, dan ceria, jadi mudah berbaur, bergaul dengan siapa saja. Berbeda denganku yang cukup menutup diri, aku agak kurang nyaman atau agak sedikit segan kalau bertemu dengan orang baru, apalagi yang lebih tua.
Menurut cerita teh Nonik, beliau sudah menikah selama delapan tahun dengan orang yang berasal dari suku Jawa, namun sayang seribu sayang pernikahan kandas di tengah jalan, disinyalir karena tak kunjung hadirnya buah hati di tengah biduk rumah tangga. Begitulah kira-kira cerita yang kutangkap selama memperhatikan dan mendengarkan celotehan demi celoteh di sana. Dan masih banyak lagi cerita yang muncul dari obrolan yang mengalir seperti air itu.
Rasanya kami sudah mengenal lama, padahal baru dua pekan kami disini. Kalau di rumahku, mana mungkin aku berkumpul seperti ini dengan ibu-ibu. Pasalnya ibu ku tak pernah melakukan hal seperti itu, ibu termasuk orang yang cukup pasif dan pendiam, mungkin sifat tersebut sedikit banyak turun padaku.
"Neng Divya, mah kayaknya pendiam ya? Dari tadi cuma senyum-senyum, ketawa-ketawa aja. Gak banyak bicara, seperti Neng Arina?" Begitulah ucapan Bu Yuyun.
Aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman dan anggukan kecil. Dan hal itu dibenarkan oleh Arina dan juga Dita.
Selang beberapa waktu, latihan pun dimulai. Aku kebagian berada di barisan tengah. Bersebelahan dengan Arina dan dua ibu lainnya, sedangkan Teh Erni dan Dita berada di barisan ke tiga. Tepat di belakang ku. Untuk Ilma, ia tidak ikut senam, karena kondisi fisik nya tidak memungkinkan untuk hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN - Kuliah Khitbah Nikah (COMPLETED - Proses REVISI)
General FictionBagi mahasiswa, KKN tentunya bukanlah hal asing. Namun, bagi perempuan bernama Divya Safitri, KKN adalah mimpi buruk yang membuatnya ingin segera terbangun. Sebuah desa di kawasan Gunung Galunggung menjadi lokasi yang harus ia taklukkan demi menunt...