Kerikil di Ujung Jalan

2.9K 220 0
                                    

Happy Reading, Everyone 💚
_______________________________________

🌿🌿🌿

Jika ada ketulusan yang benar-benar tulus, menurutku itu akan hadir dari sosok yang bernama 'anak-anak' mereka tak pandai bersandiwara atau menyembunyikan segala rasa. Mereka kerap spontan melontarkan apa-apa yang ada dalam pikiran.

Aku termasuk pribadi yang tak begitu pandai bercengkrama, juga bersosialisasi, dengan mereka yang baru ku kenal. Aku tidak humble seperti Arina, Dita, Syarif dan Yuda. Tak jarang aku diberi label 'sombong' atau sejenisnya, hanya karena aku jarang berani memulai sebuah komunikasi.

Disini pun, di desa ini mungkin ada sebagian dari mereka yang menganggapku seperti itu.

Berada di pekan terakhir membuatku merasa harus memberi kesan yang membekas dalam ingatan bagi mereka. Siapapun yang pernah menyadari kehadiranku.

Hari ini menjadi Jum'at terakhir bagiku dan tim, hadir di SDN Sukamahi 1 dan 2. Mengisi pengajian rutin, membaca surat Yasin bersama sebelum masuk ke kelas. Tak lupa sebelum itu, aku berpamitan kepada anak-anak murid yang hadir juga kepada guru-guru. Ada rasa haru terselip dalam relung hatiku, begitu bersalaman dengan anak-anak, kulihat beberapa anak yang cukup dekat denganku menitikan setetes air mata.

Rasanya kemarin aku datang, tak kenal sama sekali. Tapi saat ini, mereka telah jadi secuil kisah dalam hidupku.

"Ayo makanannya dihabiskan, makan yang banyak." Ujar Syarif.

"Nabila ... Makan yang banyak, biar cepet tinggi. Kan mau masuk SMP."

Arina berseloroh. Nabila tersipu malu. Pipinya memerah. Ia berbeda dengan yang lainnya. Tubuhnya kecil mungil padahal sekarang ia duduk di bangku kelas enam SD.

Semua anak-anak yang selalu ikut mengaji di mushola, malam ini hadir di posko. Aku dan tim mengadakan acara ngaliwet, sebagai acara perpisahan sebelum nanti akan disibukan dengan kegiatan lain yang belum tuntas.

Anak-anak terlihat senang sekaligus sedih, mereka bilang kalau kami tak akan terlupakan. Ah sungguh terharu. Tapi siapa yang tahu, toh kemungkinan nanti saat ada tim KKN yang baru, maka posisi kami akan terganti.

Setelah acara makan nasi liwet selesai, anak-anak berkumpul di ruang tamu. Aku dan lainnya duduk berbaur, dengan posisi random. Seperti biasa, setiap momen akan terabadikan dengan kamera yang dioperasikan tangan Nawa.

Anak-anak bercerita macam-macam, mulai dari kesan pertama saat bertemu denganku, dengan Arina, dengan Syarif dan dengan lainnnya.

"Oke, sekarang Kakak mau tanya, siapa kakak yang paling baik?"

"Teh Ilma ..."

"A Ridwan ..."

"Teh Dita ..."

Riuh suara anak-anak menyebutkan nama-nama yang menurut mereka sebagai kakak 'KKN' yang paling baik. Sementara si empunya nama, bersorak kegirangan, sebab namanya disebut.

"Terus ... Kalau Kakak yang paling cantik?" Tanya Nawa lagi.

"Teh Divya ..."

Hampir serempak anak-anak berujar. Ah apa iya? Aku tersanjung sekali.

Padahal faktanya aku tak secantik itu. Hahaha. Mungkin mereka melihat 'inner beauty' yang kumiliki. Ah Kok aku jadi narsis? Sombong? Tak apalah sesekali, toh baru kali ini ada yang menyebutku cantik.

Aku jadi teringat dengan seorang guruku dulu sewaktu duduk di bangku SMP, beliau adalah guru mata pelajaran IPS. Beliau selalu memuji dirinya sendiri, orangnya cukup narsis, beliau selalu berkata bahwa pujian pada diri sendiri itu menjadi salah satu wujud rasa syukur atas karunia Allah SWT dan bentuk dari self love, yang berarti sebagai wujud cinta kita terhadap diri sendiri, sebelum kita mencintai orang lain, Maka kita harus bisa mencintai diri sendiri. Dan juga katanya, kalau bukan diri sendiri yang memuji dan mencintai, maka siapa lagi yang akan melakukan hal itu. Dan kalau dipikir-pikir lagi, ucapan beliau itu benar juga. Setidaknya dengan melakukan hal tersebut, bisa membuat diri merasa lebih bahagia.

KKN - Kuliah Khitbah Nikah (COMPLETED - Proses REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang