Hallo, Selamat Pagi ... Mudah-mudahan kita semua ada dalam keadaan sehat dan baik-baik saja, terhindar dari berbagai macam bahaya yang mengancam diri. Semoga dunia ini segera pulih, Aamiin ...
Selamat membaca kelanjutan episode sebelumnya 🙏🏼
🍂🍂🍂
Proses lakrimasi yang telah terjadi beberapa hari terakhir, agaknya memberi sedikit dampak yang melegakan hati. Meski tak sepenuhnya memulihkan kondisiku seperti semula. Dan mungkin tak akan pernah sama seperti sediakala. Karena apa? Karena hati itu seperti cermin. Sekalinya ia tergores, retak atau pecah, maka tak akan pernah bisa kembali seperti semula.
Masih terasa seperti mimpi. Berulang kali aku meyakinkan diri sendiri bahwa ini kenyataan yang harus ku hadapi. Aku masih belajar sedikit demi sedikit menerima hal diluar prediksi ini dengan lapang dada dan ikhlas. Memang terasa berat, tapi akan lebih berat lagi jika aku terus tenggelam semakin dalam. Bukan hal mustahil jika nantinya semua hal yang telah ku bangun, telah ku raih sampai hari ini akan hancur dan membuat kecewa orang-orang yang mati matian mendukung gerak langkah ku. Salah satunya Ibu, dan juga Ratna. Dua orang itu yang telah ku beritahu tentang kabar hubunganku dengan Rahman.
Semua hal yang ada di dunia ini tidak ada hal yang instan. Kopi seduh yang katanya instan pun tetap memerlukan proses hingga bisa disajikan dan dinikmati. Tetap harus ada air panas, gelas, dan proses membuka kemasan kopi tersebut hingga menuangkannya ke dalam gelas.
Begitu pun dengan prosesku dalam menata hati dan menata hari-hari ke depannya. Menyatukan potongan hati yang telah pecah itu, harus dengan usaha ekstra, karena tidak ada lem yang mudah ku dapat kan untuk itu. Selain meminta tolong pada Sang pemilik rasa untuk menyembuhkan rasa sakit yang mendera.
A RAHMAN NEW : Kita ketemu besok. Aa tunggu di kampus jam 9.
Pandanganku berpusat pada layar ponsel yang menampilkan room chat dengan Rahman. Semalam, aku memberanikan diri kembali membuka ponsel dan mengaktifkan aplikasi perpesanan. Sesuai dugaanku, banyak sekali orang yang menanyakan keberadaan ku. Mulai dari teman kelas yang menanyakan tugas, hingga orang yang menawarkan produk jualan tanpa batas.
Jika sebelumnya, aplikasi hijau itu seringkali membuat hatiku berbunga-bunga, namun kali ini berbanding terbalik, aplikasi hijau itu malah membuat luka ku semakin perih, bak ditaburi garam.
Para mahasiswa, dosen, staf, pegawai, mulai berdatangan satu persatu, mulai dari yang datang sendiri hingga yang datang berkoloni, mulai yang datang berjalan kaki hingga yang mengendarai kuda besi.
Aku duduk termangu di sebuah WiFi zone, sesekali menjawab sapaan orang yang berlalu lalang, melewati ku. WiFi zone ini adalah salah satu spot yang dikhususkan untuk para mahasiswa untuk mengakses internet gratis di kampus, dengan kecepatan bagai kilat. Maka tak heran jika tempat yang terbuat dari dominasi bambu anyam, dan berlantai kayu berlapis karpet plastik ini tak pernah sepi. Mulai dari pagi hingga masa perkuliahan selesai. Ditambah dengan tempat yang cukup nyaman untuk berdiskusi, bersantai atau makan-makan. Lokasi strategis pun menambah keunggulan tempat ini untuk disinggahi, alias dekat dengan berbagai sarana prasarana kampus.
Aku menyengaja datang lebih awal dari waktu yang telah ditentukan. Berniat untuk mencari bahan-bahan tugasku yang agak terbengkalai. Dan hari ini aku bermaksud untuk kembali melanjutkannya. Meski aku harus mati-matian memfokuskan pikiran dan perhatian saat kembali membaca paragraf demi paragraf kata-kata yang telah tertulis di layar laptopku.
Otakku kali ini hanya mampu fokus barang lima sampai sepuluh menit saja, setelah itu pikiranku melayang entah kemana. Lebih tepatnya kembali melayang pada problematika hidup yang kurasa semakin pelik.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN - Kuliah Khitbah Nikah (COMPLETED - Proses REVISI)
General FictionBagi mahasiswa, KKN tentunya bukanlah hal asing. Namun, bagi perempuan bernama Divya Safitri, KKN adalah mimpi buruk yang membuatnya ingin segera terbangun. Sebuah desa di kawasan Gunung Galunggung menjadi lokasi yang harus ia taklukkan demi menunt...