Butuh Waktu

2K 155 26
                                    

Hallo, semuanya ...
Salam kenal, bagi yang baru mampir dan membaca cerita ini.

Terimakasih banyak untuk yang telah berkenan membaca, memberi vote,  komentar, dan juga menyimpan cerita ini di perpustakaan kalian 🙏🏼

Selamat membaca kelanjutan episode sebelumnya ...

🍂🍂🍂

Aku beranjak dari kursi tempatku duduk,  menghasilkan suara deritan cukup keras, mendekap beberapa buku dengan tangan kananku, serta tangan kiriku menjinjing tas laptop.

Rahman masih bungkam, ia tak bergerak dari kursi tempatnya duduk. Sampai ketika aku mendekat ke sampingnya, pergelangan tangan kiriku dicekalnya erat. Netra kami berserobok beberapa detik, tatapannya teduh namun tajam menghunus ke dalam iris mataku, ia memintaku untuk duduk dan melanjutkan obrolan, namun bagaimana bisa?

Dengan perasaan kalut seperti saat ini, bahkan untuk sekedar berpikir bagaimana cara untuk pulang saja aku tak tahu, aku menepis cekalannya.

Kembali melanjutkan langkah menuju ke loker penyimpanan tas, rasanya ingin sekali berlari sejauh mungkin. Meninggalkan tempat yang tiba-tiba terasa pengap, hingga membuat dadaku sesak dan sakit. Air mata yang terus menggenang kini turun satu persatu, membasahi pipi, aku tak peduli dengan tatapan yang mungkin kini membidikku, masa bodo dengan semua itu. Mereka tak tahu bagaimana sakitnya aku kali ini.

"Neng ..." Suaranya terdengar cukup keras, aku terus melanjutkan langkah kakiku menyusuri halaman perpustakaan yang cukup luas. Kenapa gerbang keluar terasa begitu jauh, langkahku tak jua sampai. Aku semakin terisak, sesekali ku usap air mata yang tak mau berhenti rembes keluar.

"Neng ... Tunggu, Aa belum selesai bicara." Suaranya lembut dan penuh harap.

Ia mengimbangi gerak langkahku menggunakan motornya dengan laju perlahan. Aku menyusuri trotoar. Berniat untuk pulang, dengan menyusuri jalanan menuju rumah, tak apa jauh, siapa tau dengan berjalan kaki, rasa sakit yang ada dalam hatiku berkurang. Dari depan kampus UPI PGSD, aku menyebrangi sebuah jembatan, menyusuri jalan setapak untuk pulang.

Rahman masih mengikuti langkah ku. Namun, aku enggan untuk menoleh padanya. Meski ia tetap memanggil namaku beberapa kali.

"Jangan ikuti aku, A!" Pintaku. Sejenak aku menghentikan langkah. Sebenarnya capek, namun rasa sesak di dada lebih menyakitkan dari sekedar pegal pada kakiku.

Dan juga aku malu kalau orang-orang sampai menyadari hal ini, macam adegan saat shooting sinetron saja. Bertengkar di pinggir jalan dengan pacar.

"Tapi Aa mau bicara."

Mungkin nanti. Aku mungkin mau mendengar lebih lanjut, tapi tidak sekarang. Aku ingin sekali pulang dan menetralkan pikiran dan perasaan ku yang semerawut ini. Menghela napas dalam-dalam, aku melanjutkan langkah kakiku.

Hingga aku menyebrangi sebuah jembatan, yang hanya bisa dilalui oleh satu manusia saja. Ini alasan ku melarangnya mengikutiku. Ia tak akan bisa melewati ini jika naik motor. Dan benar saja, ia hanya diam di atas motornya kebingungan. Saat aku telah sampai di ujung jembatan, dan menolehkan kepala sekilas ke belakang. Kemudian kembali melanjutkan langkah ku.

Ku pikir pertemuan bersamanya hari ini mampu melebur kerinduanku padanya, setelah sekian lama tak bertemu dan tak bercerita tentang hari-hari kami berdua, seperti yang dulu rutin kami lakukan, namun ternyata aku salah, yang ku terima justru kehancuran atas perasaanku.

Kalimatnya sungguh terus terngiang dalam runguku, suaranya begitu berat ketika mengucapkannya. Kini semuanya telah berakhir. Semua anganku pun hancur seketika, bagaimana harus ku hadapi situasi seperti ini?

KKN - Kuliah Khitbah Nikah (COMPLETED - Proses REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang