airport

276 37 14
                                    


Setelah mereka memarkirkan mobil, Aza dan Jena segera turun dan membuka bagasi untuk mengeluarkan satu koper besar dan satu tas ransel milik Jena. Aza kembali menguap saat melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Aza yang tadinya sedang asik bergelut dengan dunia mimpi, tiba-tiba saja mendapat cipratan air dingin dari Jena untuk meminta segera mengantarnya ke bandara karena Liliana juga sedang tidak di rumah malam ini.

Lagian jika pesawatnya tidak delay mungkin Jena sudah sampai sejak tadi siang di Malaysia. Dan mungkin juga mereka bisa bertemu dengan Why Don't We (lagi).

Mungkin.

"Kau harus mengantarku masuk." Jena langsung saja menarik tangan Aza di tangan kanannya dan menarik koper di tangan kirinya.

"Jena, yang benar saja. Aku ingin melanjutkan tidurku."

"Nikmati saja, bukannya kau suka berada di bandara malam-malam. Kau bisa ke kedai kopi kesukaanmu," oceh Jena masih sambil menarik Aza. Jena memang benar, tapi Aza sudah menebak bandara akan sangat ramai karena sekarang sedang dalam masa libur panjang.

Setelah sampai, Jena kembali memeriksa barang-barang bawaannya takut ada yang ketinggalan.

"Sampai kapan kau di Malaysia?" tanya Aza.

"Sampai libur selesai."

"Yang benar saja. Kau bahkan menyuruhku mencari tempat untuk kita liburan dan sekarang kau akan liburan sendiri di Malaysia? Sialan."

Jena menyengir, "Aku ingin belajar berbisnis dengan Papa di Malaysia, bukan untuk liburan. Nanti kapan-kapan kita berlibur bersama." Jena kemudian mengecup telapak tangannya lalu menempelkannya pada pipi Aza yang tentu membuat perempuan itu geli.

"Ew!" Satu toyoran kembali mendarat di kepala Jena.

"Sudahlah, aku akan segera masuk. Kau harus hati-hati di sini. Jangan suka menumpahkan kopi di atas karpet lagi karena aku tidak akan membantumu sementara."

Aza langsung tertawa, "Iya, kambing."

Setelah perbincangan itu selesai, Aza segera memeluk Jena kemudian membiarkan perempuan itu masuk.

"Bye!"

Saat ingin berbalik Aza mengingat sesuatu, ia kembali mengedarkan pandangannya dengan perasaan yang tiba-tiba saja berubah menjadi sedih. Bahkan ia masih mengingat itu semua terjadi di tempat ia berdiri sekarang.

Hatinya kembali merasa sakit.

Dengan keadaan yang memburuk, Aza berjalan sedikit menjauh dari tempatnya berdiri lalu mengadahkan kepalanya melirik ke atas untuk melihat-lihat bintang, tepat saat itu juga sebuah pesawat terlihat terbang di atas sana membuat senyumnya terukir begitu saja.

Seketika Aza berpikir untuk menghabiskan malamnya di luar. Belum tahu ia akan kemana—yang pasti ia harus memberitahu Liliana dulu meski ibunya itu sedang tidak di rumah.

Dengan pikiran acak, setelah menyimpan ponselnya Aza kini menanyakan keadaan Daniel pada dirinya sendiri. Apakah laki-laki itu sudah sampai di rumahnya atau belum?

Sedang enak berdebat dengan pemikiran sendiri, ponsel berwarna putih milik Aza bergetar di dalam saku celananya.

Setelah mengambil, Aza mengerutkan kening saat tahu yang menghubunginya bukanlah nomor dari Indonesia. Dan ia sangat-sangat yakin jika dia tidak pernah berteman dengan bule manapun.

Daniel?

Aza rasa ini sangat-sangat tidak mungkin.

Dengan rasa penasarannya, Aza mengangkat panggilan itu.

𝒔𝒕𝒂𝒚 || 𝒅𝒋𝒔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang