somebody call 911!

258 20 118
                                    

Daniel memutar bola matanya kemudian mematikan sepihak sambungan telepon yang sudah berjalan selama empat puluh lima menit itu. Ia sendiri tidak menyangka akan selama itu berdebat dengan adik perempuannya mengenai masalah yang sebenarnya juga tidak mau ia bicarakan dengan Anna.

Sepulang dari studio rekaman, Daniel sempat berbicara dengan Jonah untuk meminta pendapat laki-laki itu. Jika memang Aza akan memulai kehidupan barunya, Daniel hanya ingin menutup buku miliknya bersama Aza yang kalimat terakhirnya saja belum selesai ia tulis.

Jonah tidak banyak memberi saran, ia hanya mengembalikan semuanya pada Daniel. Menurut Jonah itu fifty-fifty. Bisa saja nantinya kehadiran Daniel yang tiba-tiba akan merusak rencana yang sudah ditata Aza untuk kehidupan barunya, tetapi jika tidak diselesaikan tidak mungkin sepasang manusia ini terus bergelut dalam perang dingin.

Merasa masih belum yakin, akhirnya Daniel menghubungi Anna mengingat adiknya itu pernah dekat dengan Aza walaupun Daniel tahu Anna menjadi orang yang paling tidak ingin bertemu Aza akhir-akhir ini.

Entah apa yang ia harapkan, namun ia sempat berpikir jika mungkin saja Anna tahu mengenai postingan itu. Lagi pula, Anna juga masih bertukar kabar dengan Nick.

Di awal obrolan semuanya baik-baik saja sampai ketika Daniel menyampaikan niatnya untuk meminta pendapat Anna tentang ia yang ingin memperbaiki semuanya dengan Aza.

Yang sempat Daniel ingat dari ceramah panjang yang disampaikan Anna hanya dua hal. Pertama, Anna sama sekali tidak mengetahui maksud dari postingan itu dan yang kedua Anna tidak setuju dengan Daniel yang ingin berbaikan dengan Aza. Ia masih menyimpan rasa sakit hati pada perempuan yang telah membohonginya itu.

Merasa adu mulutnya akan bertambah panjang, oleh karena itu Daniel langsung memutus teleponnya sepihak dan kini sudah berhasil duduk manis di atas mobilnya bersiap menuju sebuah club untuk bersantai bersama beberapa teman dekatnya.

✿ ✿ ✿

Aza berdiri tegap di depan pintu besar berwarna putih polos itu. Matanya melirik ke arah bel yang membuatnya tidak bisa menahan ukiran senyum di wajahnya.

Kondisi belnya masih sama saat ketika Aza sering bolak-balik ke sini.

Rusak karena lemparan bola pingpong milik Jack.

Entah karena malas memanggil teknisi atau memang lupa karena jarang juga digunakan. Hal itu juga tidak menjadi poin penting kenapa Aza berdiri di situ dengan baju tidur yang tidak sempat ia ganti.

Dihitung-hitung sudah ada lima menit Aza berdiri dengan harapan seseorang keluar dari sana jadi ia tidak susah-susah harus membuat energi untuk mengetuk pintu.

Tapi ia tahu, berharap pada manusia adalah jalan yang salah.

Pada akhirnya ia merelakan energi yang tersisa untuk menggedor keras pintu tersebut, sambil tersenyum miris. Dulunya, ia bisa mudah mengakses rumah ini dan masuk kapan saja ia mau.

Waktu kini tengah menjadi musuhnya.

Pergerakannya kemudian terhenti setelah ponsel yang ada di tangan kirinya bergetar. Aza menghela napas sambil menebak penelpon pasti sedang berada di apartemennya mencari keberadaan Aza.

"Aku sudah bilang, aku akan menemui Daniel." Kelakuan Aza masih sama, tidak suka basa-basi jika menyangkut masalah telponan.

"Tengah malam seperti ini? Kau gila? Aku yakin kau habis minum."

"Kau tahu persis jika aku tidak pernah menyentuh botol minuman keras itu."

"Lalu?"

"I wish I knew. There's something in me that just make me wake up and say- I think tonight is the right time. Then I drove here."

𝒔𝒕𝒂𝒚 || 𝒅𝒋𝒔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang