03. Run Away

2.7K 376 55
                                    

Devano memijat pelipisnya setalah menyelesaikan tugasnya di kantor. Hari ini sungguh lelah, banyak dokumen yang harus ia tanda tangani rupanya telah menyita semua energi Devano. Lelaki itu menyesap sedikit kopi yang telah ia pesan sebelumnya. Kemudian Devano memejamkan mata sambil merebahkan tubuhnya di punggung kursi.

Ceklek

"Morning Devano." lelaki itu menggertakkan giginya saat mendengar suara gadis yang selalu mengganggunya akhir-akhir ini. Ia membuka matanya dan menatap gadis itu dengan tajam. Niatnya ia ingin beristirahat tapi kehadiran gadis ini membuat waktu yang seharusnya Devano gunakan untuk istirahat terbuang sia-sia.

"Pergilah! Aku ingin sendiri!" ucapnya cukup dingin dan menusuk. Gadis yang akan duduk di sofa itu lantas berdiri, bukannya pergi ia justru semakin mendekat ke arah Devano.

"Yaampun mulutmu itu pedas sekali, Dev." entah bagaimana kini gadis itu mengusap bahu Devano dari belakang dengan sensual membuat sang empunya mendengus kesal.

"Aku ke sini menyempatkan waktu sibuk ku untuk bertemu denganmu. Setidaknya hargai sedikit perjuanganku ini, hm." bisiknya tepat di telinga Devano bermaksud untuk menggodanya. Tentu saja tidak akan mempan jika itu pada Devano.

"Aku tidak peduli! Sebaiknya kau pergi sebelum aku berkata kasar." gadis itu tak bergeming, ia semakin gencar menyentuh Devano yang hanya diam, namun dibalik diamnya lelaki itu menyimpan segudang amarah yang masih ia tahan. Saat tangan gadis itu akan menyentuh perut sixpack nya ia langsung menghempaskan lengan gadis itu dengan cepat.

"AKU BILANG PERGI!!" bentaknya hingga gadis itu terperanjat kaget dan sedikit menjauhkan tubuhnya. Ia menatap Devano kesal lalu meninggalkan ruangan dengan membanting pintu.

Devano masih mengatur nafas berusaha meredam kemarahannya. Tak lama kemudian pintunya kembali terbuka menampilkan sosok Justin yang terlihat kebingungan.

"Apa terjadi sesuatu di sini, baru saja aku melihat Selin menangis di depan. Apa kalian sedang bertengkar?" ucap Justin.

Devano menatapnya sekilas kemudian berkata, "Bukan urusanmu."

"Ah baiklah, ini aku ingin memberikan dokumen yang akan menjadi bahan rapat untuk besok." Devano berdeham dan mengisyaratkan Justin agar meletakkan dokumen itu di mejanya. Saat Justin akan keluar Devano memanggilnya.

"Justin." ia berbalik badan menghadap Devano sambil menaikkan sebelah alisnya seolah berkata 'ada apa?'

"Jangan sembarangan mengizinkan orang masuk ke dalam ruangan ku apalagi gadis itu, mengerti?!" Justin mengangguk.

"Oke, kau tenang saja. Ada lagi?" Devano menggeleng sambil melihat Justin yang menghilang di balik pintu.

"Gadis itu benar-benar gila." gumamnya pelan, Devano kembali melanjutkan pekerjaannya membaca dokumen yang di bawa oleh Justin.

***

Hari ini Arina kembali mendapat perlakuan keji dari Ibu tirinya, wanita itu dengan tega menumpahkan teh panas buatan Arina hanya karena gadis itu lupa memberikan gula. Sehingga tangan Arina kini merah dan sedikit melepuh.

"Hiks sakit..." rintihnya, perlahan ia meniup luka bakarnya dengan sedikit olesan salep. Gadis itu masih belum keluar kamar sejak tadi, ia berusaha menghilangkan rasa panas serta perih yang menjalar di tangan kirinya.

"Ayah, apa aku harus pergi hiks... Aku tidak kuat lagi." bekas tamparan Ibunya di pipi Arina belum memudar, kini ditambah dengan luka bakar di tangannya.

Arina membuka laci mejanya, ia mengeluarkan secarik kertas berisi alamat rumah yang ditulis oleh Ayahnya. Gadis itu sudah membulatkan tekat, malam ini ia akan pergi meminta bantuan di rumah teman Ayahnya.

Arina membuka jendela kamarnya kemudian ia keluar dari sana. Gadis itu berjalan mengendap-endap saat ingin berjalan mendekati pagar rumahnya. Ia hanya memastikan bahwa tidak ada orang yang tau kepergiannya, bahkan gadis itu tidak membawa apa pun selain kertas berisi alamat rumah yang akan ia tuju. Sebenarnya ia juga tidak tahu akan naik apa untuk ke sana, karena ia tidak membawa sepeser uang pun.

Setelah berhasil keluar dari rumah, Arina berlari sekuat tenaga sebisa mungkin ia menjauh dari kawasan rumahnya.

Hari semakin malam, jalanan pun semakin sepi, Arina masih berjalan mencoba mencari kendaraan yang mungkin bisa ia mintai bantuan. Namun dari tadi tidak ada yang mau memberinya tumpangan. Mungkin karena melihat penampilan Arina yang acak-acakan.

Tiba-tiba Arina merasakan ada orang yang mengikutinya, entahlah Arina tidak ingin melihat ke belakang. Ia semakin mempercepat langkahnya, namun suara langkah kaki yang mengikutinya juga semakin cepat. Gadis itu memberanikan diri menengok ke belakang, dan benar saja dari kejauhan ada seorang pria berjaket hitam sedang mengikutinya. Arina dengan cepat berlari menghindari pria itu yang masih mengejarnya dari belakang.

Tuhan tampak berpihak padanya malam ini, dari jauh Arina melihat ada sebuah mobil yang akan lewat. Dengan cepat gadis itu berlari ke tengah jalan sambil melambaikan tangannya.

Ciiiitt!

****

Devano mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, sejujurnya ia sedikit mengantuk mungkin karena lelah. Di tengah perjalan, Devano melihat seorang gadis yang berdiri sambil melambaikan tangannya tepat di tengah jalan. Lelaki itu langsung mengerem mendadak sampai tubuhnya ikut terhuyung. Untung saja ia tidak menabrak gadis itu. Devano menurunkan kaca mobilnya saat melihat Arina mendekat.

"Hei apa kau sudah tidak wa–" belum sempat Devano melanjutkan ucapannya, Arina dengan cepat menyela.

"Aku mohon tolong biarkan aku masuk. Pria itu ingin menangkap ku." ucap Arina sambil memohon. Devano mengalihkan pandangan ke arah depan, benar ternyata ada seorang pria yang mendekat ke arah mobilnya.

"Masuk." ujarnya dingin tanpa menatap Arina. Gadis itu dengan cepat masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Devano, setelah Arina memasang sabuk pengaman, lelaki itu langsung melajukan mobilnya melesat membelah jalanan.

Dengan terengah-engah, Arina sedikit melirik ke arah Devano.

"Terimakasih telah membantuku."

"Hm." sahut Devano tanpa mengalihkan pandangannya.

"Di mana rumahmu." Arina merogoh sakunya ingin memberikan alamat yang akan ia tuju. Namun tidak ada, kertas itu tidak ada di saku celana Arina. Gadis itu menelan ludahnya susah payah, bagaimana ia akan mengatakannya.

Melihat Arina yang diam saja Devano kembali berkata, "Nona?"

"Ah se-sebenarnya aku ingin ke suatu tempat, tapi a-aku menghilangkannya, ja-jadi aku—" 

"Bicara yang jelas." Arina tersentak saat mendengar Devano berbicara sedikit keras.

"Aku menghilangkan alamatnya." jawabnya lirih. Dapat Arina lihat lelaki di sampingnya ini mendengus kesal. Devano menggenggam setirnya dengan kuat, kenapa hari ini ia bertemu dengan gadis yang tidak jelas. Lelaki itu tidak sadar jika Arina ketakutan, gadis itu memejamkan matanya sambil memegang erat sabuk pengamannya.

"Jadi aku harus mengantarmu kemana?" kening Devano mengernyit saat tak mendapatkan balasan, lelaki itu meliriknya dan ternyata gadis itu tengah tertidur. Tanpa sadar Devano menelisik wajah Arina, ia tersenyum tipis, tipis sekali mungkin jika orang melihat tidak akan ada yang tahu jika Devano tengah tersenyum.

"Cantik." gumamnya tanpa sadar, kemudian ia menggeleng sambil memfokuskan pandangan untuk mengemudi dengan raut wajahnya yang kembali datar.

______________

TBC

Udah ya mereka dah ketemu tuh, harus komen pokoknya wkwk maksa banget ya aku ini😂

Tetap jaga kesehatan ya semuanya, jangan lupa selalu cuci tangan🤗

Mr. CoraldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang