Devano duduk di kursi sambil memandang wajah damai istrinya yang tak kunjung membuka matanya. Ia mengambil tangan Arina untuk digenggam.
"Maafkan aku Arina," ucapnya sambil mengecup tangan sang istri.
Tak lama ia merasakan pergerakan dari tangan Arina yang digenggam olehnya. Devano lantas menoleh ke arah istrinya. Perlahan kedua mata Arina terbuka, hal pertama yang dia lihat adalah wajah sang suami yang tersenyum padanya.
"Kau sudah sadar sayang. Ingin sesuatu?" Arina menggeleng lemah, kemudian ia mendudukkan dirinya bersandar di kepala ranjang rumah sakit dibantu oleh Devano.
"Apa yang terjadi padaku?" tanyanya masih dengan nada yang ketus tanpa memandang Devano sekalipun. Melihat itu Devano hanya bisa menghela nafas, setidaknya Arina masih mau berbicara padanya.
"Kau hanya kelelahan, dan pasti karena aku, kau jadi banyak pikiran." Devano kembali menggenggam salah satu tangan Arina.
"Mulai sekarang aku akan lebih menjagamu. Aku akan berusaha untuk tidak menyakitimu, karena tanggungjawab ku tidak hanya kau saja." Arina menyatukan alisnya bingung, ia menarik kembali tangannya dari genggaman Devano.
"Kau tidak perlu melakukan itu, aku bisa menjaga diriku sendiri." Devano terkekeh melihat istrinya yang masih marah. Bukannya takut, wajah Arina malah membuatnya ingin tertawa.
"Lantas kenapa kau sampai pingsan tadi?" Arina membasahi bibirnya gugup. Sebenarnya wanita itu tidak tahu entah kenapa tubuhnya tiba-tiba lemas tadi, padahal Arina tahu betul bahwa ia tidak memiliki riwayat penyakit apapun.
"I-itu tadi aku—"
"Kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri Arina, jadi biar aku melakukannya." Devano menarik tubuh sang istri lembut ke dalam pelukannya. Arina tetap diam tanpa membalas pelukan suaminya namun juga tak menolak.
"Karena mulai saat ini kau tidak sendiri. Ada nyawa lain yang harus kita jaga sayang," ucapnya berbisik. Arina masih mencerna ucapan Devano. Nyawa lain apa maksudnya, atau jangan dia...
"A-aku ha-hamil?" Devano mengangguk dalam pelukannya. Arina tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia membalas pelukan Devano.
"Aku hamil, ada anak kita di dalam perutku," ujarnya sambil terus memeluk Devano erat.
"Maafkan aku Arina, maaf tidak memberitahumu dari awal, aku takut kau akan kecewa padaku. Aku mencintaimu sangat, tolong jangan tinggalkan aku." Arina memejamkan mata meresapi setiap kata yang terucap dari bibir suaminya. Sebenarnya Arina tidak masalah jika perusahaan itu menjadi milik suaminya, yang dia sayangkan adalah kenapa Devano tega menikahinya demi perusahaan, meski pada akhirnya pria itu mencintainya. Tetap saja bagian awalnya sudah salah.
Menyingkirkan sedikit egonya, tangan Arina mulai mengusap rambut Devano yang tampak berantakan.
"Hmm," gumamnya pelan.
"Kau memaafkan ku, bukan?" Arina mengangguk mantap.
"Iya, Mr Corald." Devano tersenyum lebar saat panggilan itu kembali memenuhi rungunya. Ah rindu sekali Devano mendengar panggilan itu. Ia melepaskan pelukannya dan mengecup kening Arina lama.
"Terimakasih." keduanya sama-sama tersenyum hangat.
"Ayo kita pulang untuk memberitahu mom dan juga dad tentang kabar bahagia ini." dengan bantuan Devano Arina turun dari ranjangnya.
"Kau bisa berjalan sendiri? ingin aku gendong?" Arina menepuk bahu sang suami.
"Jangan berlebihan."
"Baiklah ayo." Devano merangkul bahu Arina disepanjang mereka berjalan menuju tempat parkir. Devano membukakan pintu untuk Arina dan mengitari mobil lalu masuk di bagian kemudi. Jika kalian bertanya di mana Justin, entahlah Devano juga tidak tahu. Yang jelas ia sudah mengirimkan pesan pada pemuda itu agar pulang menggunakan taksi. Sungguh miris sekali nasib Justin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Corald
RomanceDingin, satu kata yang mendeskripsikan seorang Devano Corald. Tatapan tajam serta paras yang menawan, menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum hawa berlomba-lomba mendapatkannya. Hidup diselimuti ego yang tinggi, dan penuh penekanan. Dari kecil menja...