Selama seminggu penuh Arina di rawat. Pagi ini wanita itu sudah di perbolehkan pulang dari rumah sakit. Tubuh Arina masih tidak bisa bergerak dengan bebas dikarenakan perutnya yang terasa nyeri jika dia banyak bergerak. Jadilah ia duduk di kursi roda untuk saat ini.
Devano mendorong pelan menuju tempat parkir mobilnya. Ia mengangkat tubuh mungil Arina di sebelah kursi kemudi lalu melipat kursi roda Arina dan meletakkan di jok belakang.
Pria itu mengendarai mobil dengan kecepatan sedang dengan salah satu tangannya terus menggenggam sebelah tangan Arina. Wanita itu membalas dengan senyuman tipis.
"Ingin membeli sesuatu dulu?" tawar Devano yang di balas gelengan pelan, kemudian Arina mengalihkan pandangan ke luar jendela membuat Devano menghembuskan nafasnya.
Setelah Arina siuman untuk pertama kalinya, keesokan harinya Devano merasakan perbedaan dari wanita yang berstatus sebagai istrinya itu. Arina menjadi lebih banyak diam, sering kali ia hanya akan menjawab dengan anggukan atau gelengan ketimbang membuka suaranya.
Kata dokter Arina mengalami shok karena kehilangan bayinya, tapi berangsur-angsur kondisi Arina akan kembali seperti semula, Devano hanya perlu membuat sang istri melupakan kesedihannya dan mengikhlaskan kepergian calon bayi mereka.
Sesampainya di halaman rumah, Devano segera mengeluarkan kursi roda dan mendudukkan Arina di sana. Ia mengambil koper di bagasi lalu mendorong pelan Arina masuk ke dalam rumah. Nyonya Grace dan Bi Mia menyambut kedatangan mereka berdua dengan membuat beberapa masakan khusus untuk Arina.
"Arina kau ingin makan nak? Ayo, mom sudah memasak banyak dengan Bi Mia. Kau harus makan terlebih dahulu, hmm?" Arina mengangguk sambil tersenyum. Kemudian Devano mendorongnya menuju ruang makan, ia mengambil tempat di sebelah Arina.
Nyonya Grace mengambilkan nasi ke piring Arina dan menambahkan beberapa lauk, membuat Arina menghentikan aktivitasnya.
"Sudah cukup mom, ini terlalu banyak," ucap Arina sambil terkekeh.
"Baiklah, jika kurang bilang pada mom ya?" Arina mengangguk dan tersenyum manis.
Devano menghangat melihat senyuman di wajah Arina. Setidaknya wanita itu sedikit tertawa tadi. Devano menyempatkan diri untuk mengecup pelipis Arina.
"Makan yang banyak setelah itu minum obat."
"Hmm." Arina menyuapkan makanan ke dalam mulutnya hingga tak bersisa. Devano pun setia duduk di sampingnya sambil sesekali mengusap bibir Arina.
Devano memberikan beberapa obat agar luka Arina cepat kering dan meredakan rasa nyerinya. Selesai minum obat, pria itu mendorong kursi roda ke dalam kamar agar Arina dapat istirahat. Untuk sementara waktu mereka akan memakai kamar tamu yang ada di lantai bawah, karena kondisi Arina yang tidak memungkinkan jika tidur di lantai atas.
Pria itu membaringkan Arina di atas ranjang dengan hati-hati lalu mengecup keningnya pelan.
"Kau istirahat saja dulu, ya?" Arina mengangguk lemah. Devano menaikkan selimutnya sebatas dada. Kemudian ia keluar kamar untuk mengerjakan sesuatu di ruang kerjanya.
****
Devano mengalihkan pandangan dari laptopnya saat mendengar ponselnya berbunyi, tertera nama Justin di sana. Devano melepas kacamatanya sebelum menggeser ikon berwarna hijau itu.
"Halo."
"Halo Dev, kau benar. Sepertinya kejadian itu sudah di rencanakan." Devano mengepalkan tangannya hingga kukunya memutih. Dari awal dia memang menemukan kejanggalan pada kejadian yang menimpa istrinya itu, dan kini sudah terbukti bahwa prediksinya memang benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Corald
RomanceDingin, satu kata yang mendeskripsikan seorang Devano Corald. Tatapan tajam serta paras yang menawan, menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum hawa berlomba-lomba mendapatkannya. Hidup diselimuti ego yang tinggi, dan penuh penekanan. Dari kecil menja...