41

31.3K 1.5K 46
                                    

PLEASE VOTE AND COMMENT

Jantung Sakura berdegub tak karuan saat Wira sedang mencoba untuk menghubungi Ayah dan Ibu di Singapore melalui video call. Deguban jantungnya semakin kuat tatkala wajah Ayah sudah tampil dilayar ponsel. "Hallo." Sapanya dengan ramah.

"Hallo Ayah." Balas Wira.

"Kabarnya gimana, Nak?"

"Kabar baik, Yah. Ada sukacita besar juga." Jawab Wira semangat.

"Apa? Ayah penasaran." Raut penasaran terlihat jelas diwajah Ayah.

"Ayah bisa sama Ibu gak, soalnya kita juga mau kasih tau ke Ibu." Pinta Wira. Ayah pun menangguk. Tak lama kemudian layar ponsel itu beralih pada suatu gambar yang tak jelas karena Ayah memang sedang berjalan.

"Hallo?" Sekarang wajah Ibu dan Ayah sudah terpampang dilayar ponsel.

"Hallo Ibu..."

"Katanya ada berita baik dari mereka. Sukacita besar kata Wira." Ucap Ayah.

"Wah.. coba cerita, Nak." Kata Ibu dengan antusias.

"Sakura hamil, Bu!" Kata Wira dengan penuh semangat. Jelas sekali dia sangat terlihat bahagia.

"Lho, kok Ibu nangis?" Panik Sakura saat melihat setetes air mata mengalir di wajah Ibu. Dia pikir Ibu sedang kecewa dengan mereka. Mengingat dulu Ibu menasihati mereka perihal anak. "Maafin kita, Bu." Pinta Sakura.

Tapi Ibu malah menggeleng. "Ngapain minta maaf kalau gak salah." Ucap Ibu pelan. "Ibu malah senang. Itu artinya kalian kasih Ibu kesempatan buat punya cucu sebelum..." Kalimat itu menggantung. Baik Sakura, Wira, maupun Ayah paham maksud Ibu. "Makasih yah, Nak." Ibu terlihat bahagia juga.

"Ini anugerah buat kita, Bu." Tambah Ayah.

"Sakura udah bisa naik pesawat belum? Ibu mau ketemu."

"Belum bisa Bu, kandungan Sakura masih muda. Sangat riskan." Mendengar jawaban itu Ibu hanya mengangguk paham. Padahal ia sangat ingin bertemu dengan menantunya itu. Mengusap perut yang akan mulai membesar seiring berjalannya waktu, berbagi cerita dengannya seputar kehamilan, memberikan wejangan-wejangan, ah rasanya banyak sekali yang ingin Ibu lakukan. Sayangnya kondisi mereka sama-sama tidak memungkinkan.

Setelah panggilan itu berakhir. Ibu hanya menatap Ayah. Ayah tahu apa arti tatapan itu. Yang bisa dia lakukan hanyalah membawa Ibu kedalam pelukannya. Mengusap punggung Ibu dengan lembut. "Saya gak mau egois, Mas." Bisik Ibu dalam pelukannya. Ada isak tangis yang mengiringi bisikan itu. "Tuhan sudah terlalu baik buat saya sampai dikasih hidup sejauh ini. Saya gak mau egois, Mas." Ada sebuah perasaan yang mendera hati Ibu. Perasaan yang susah dijelaskan. Hanya bisa dipahami. Dan Ayah memahami itu.

***

"Sa?" Panggil Wira

"Ditambah yang dong Mas, biar jadi sayang."

Dinikahin DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang