Bag 12 (Pembalasan)

765 51 0
                                    

Pemuda yang dipanggil Ucok segera menghampiri Pak Monang di lantai bawah. Namun bukan menyambutnya, pria tambun paruh baya itu malah menatap geram pada putranya.

"Kau ada keperluan apa ke sini? Sudah kubilang pakai uang itu buat modal usaha, bukan buat tiket ke Bandung."

"Uang segitu mana cukup. Makannya aku kesini untuk cakap langsung sama Bapak. Ngomong-ngomong, siapa perempuan itu, Pak? Tak pernah dengar kabarnya pun."

"Sudahlah nanti aku ceritakan, kau simpan dulu tasmu lalu duduk sana!"

Nadi yang masih berdiri di tempat, sedikit menguping percakapan Ucok dan Pak Monang di bawah sana. Setelah percakapan mereka sedikit-demi sedikit menghilang dari pendengaran, ia pun memilih berbalik badan dan masuk ke dalam kamar mandi.

***

Andhin yang biasa bersama Pandu sepulang sekolah, tidak juga menemukan di mana teman sebangkunya itu. Sepeda motor milik Pandu terlihat masih terparkir di area parkir sekolah. Setelah itu, dari kejauhan ia melihat Dito yang hendak menghampiri untuk menanyakan sesuatu kepadanya.

"Dhin, lihat Pandu gak?"

"Nah, gak tau. Kirain aku teh tadi lagi sama kamu."

"Biasanya Pandu suka nongkrong di lantai 3. Tapi tadi aku nyari dia sana sampai ke kantin juga gak lihat dia." Dito lalu menyerahkan sebuah benda. "Ya udah, aku nitip earphone punya Pandu ke kamu ya. Nanti balikin aja pas pulang bareng dia.

"Oke nanti aku balikin."

"Aku pulang duluan ya ..."

"Yo, atiati!"

Dito berbalik pergi meninggalkan Andhin yang sedari tadi berdiri di dekat area parkiran sekolah. Tak biasanya Pandu tak menemuinya ketika jam pulang sekolah. Mencoba menghubungi nomor kontaknya pun tak juga dibalas. Akhirnya Andhin mencoba mencari Pandu di tempat dia biasa menyendiri, yaitu di lantai paling atas sekolah. Ia hanya ingin memastikan jika pemuda pendiam itu masih dalam keadaan baik-baik saja.

Baru saja tiba di lantai dua gedung sekolah, sayup-sayup terdengar suara lelaki dari kejauhan sedang berteriak kesakitan. Juga suara anak laki-laki lain yang terdengar kurang jelas. Suara itu berasal dari lorong sekolah dekat toilet pria yang ada di lantai dua.

Andhin mencoba mendekati sumber suara, dan menemukan 4 orang siswa pemain futsal yang pernah berseteru dengan klub basketnya. Salah satu siswa sedang menggenggam sebuah bola futsal yang sudah kempes. Dan terlihat siswa lain mencengkram kerah seragam Pandu sambil menempeleng kepalanya.

"Pandu?!" Andhin berteriak ke arah lima orang siswa itu.

Semuanya kompak menoleh ke arah Andhin yang tiba-tiba mendatangi mereka di tempat itu. Kedatangan gadis dengan rambut terikat satu itu cukup mengejutkan aktivitas mereka.

"Pergi, Dhin! Jangan ke sini!" teriak Pandu yang semakin ketakutan. Ia khawatir empat orang siswa berandal yang sedang merundungnya akan melakukan hal yang membahayakan kepada Andhin.

"Kalian lagi apain Pandu?!" Andhin panik kala melihat teman sebangkunya dipukuli oleh empat siswa perundung.

"Ooh, ternyata ini pacar maneh. Anak basket yang waktu itu? Manis juga. Sini Sayang, kita gabung." Salah satu dari mereka merangkul dan menyeret Andhin mendekati teman-temannya.

"Apaan sih, lepas!" Andhin mencoba membuang rangkulan itu, namun tenaganya kalah kuat.

"Maneh tau gak? Si Pandu ini yang udah kempesin bola futsal kita. Maneh sekongkol kan sama dia?" Lalu semakin merangkulnya kuat.

"Sekongkol apaan?! Aku gak tahu apa-apa. Mendingan kalian pergi dari sini! Masalah bola bisa kita selesaiin nanti," jawab Andhin dengan nada yang cukup emosi.

"Bukan masalah bolanya, kalau gak suka tinggal ngomong dulu aja sama kita. Gak usah pake ngerusak bola. Dia bilang dia ngempesin bola kita gara-gara waktu itu kita pernah berantem sama tim kamu dan sampai dorong kamu di lapangan. Dan kita juga punya beberapa saksi yang ngeliat nih anak lagi ngempesin bola ini," salah satu siswa yang sedang menahan tubuh Pandu mencoba menjelaskan kronologis kejadiannya.

"Kita bisa selesaiin ini secara baik-baik, gak usah pake mukulin dia!" Andhin yang mencoba menenangkan keadaan.

"Emangnya ngempesin bola itu kelakuan yang baik-baik?!" sahut salah satu siswa yang masih merangkul Andhin. Ia lalu mengutarakan sebuah ide kepada Pandu.

"Gimana kalau cewek maneh ini kita kempesin juga? Biar masalah kita selesai."

"Maksudnya?" Pandu semakin gelisah. Ia juga melihat wajah Andhin yang semakin ketakutan.

Keempat pemuda itu mulai membagi tugasnya. Dua orang menahan tubuh tawanannya yang sedang ditempelkan ke tembok, dua orang lain menyeret Andhin untuk menjauhi Pandu.

"Jangaaan woi ... Andhiiin!" Pandu berteriak melihat sang gadis yang dipaksa menjauhinya oleh dua orang siswa perundung.

"Diem sia mau ngapain?! Gak mau...! " Andhin mencoba memberontak namun tenaganya masih bisa dikalahkan oleh dua pemuda itu.

Keduanya berdiri di hadapan Andhin dan membelakangi Pandu dari pandangannya.

"Aaaaaarrrhhhh...!" suara teriakan Andhin menggema. Terlihat ia menampar salah satu siswa yang menyeretnya.

Pandu lantas semakin panik, ia memberontak lebih kuat dan mendorong dua siswa yang sedari tadi menahan tubuhnya. Lalu berlari dan meraih tangan Andhin untuk kabur bersamanya meninggalkan mereka. Sembari menggenggam tangan si gadis, Pandu berlari menuruni tangga sekolah untuk mencari tempat yang lebih aman.

Kelas mereka berdua yang sudah kosong dipilih Pandu sebagai tempat menenangkan diri setelah kejadian itu. Andhin yang baru tiba langsung duduk di salah satu bangku, sementara Pandu menutupkan pintu kelasnya agar suasana bisa lebih privat untuk berbicara secara langsung.

Andhin menutup wajah dengan dua telapak tangan. Ia terlihat menangis setelah mengalami pelecehan oleh salah satu pemuda yang merundungnya tadi. Pandu duduk di sampingnya sembari menyentuh pundak gadis itu.

"Maafin aku ya, Dhin."

"Kenapa kamu pake ngempesin bola mereka?" Andhin menepis sentuhan tangan itu di pundaknya.

Lelaki di sampingnya mengubah posisi duduk lebih tegak. "Waktu itu, aku masih ada di sekolah dan emang sempat lihat tim kamu lagi berantem sama mereka. Ngelihat mereka kasar sambil dorong kamu, aku jadi ikut kesel sama mereka."

"Ya tapi kan kamu bisa ngobrol dulu sama aku sebelum ngasih pelajaran ke mereka." Andhin menjawab dengan suara menahan tangis.

"Iya maafin aku, Dhin. Aku gak tahu kalau jadinya bakalan kayak gini. Kamu jangan nangis terus ya," Pandu mengambil syal dari dalam tas untuk mencoba menghapus air mata gadis itu di pipinya. Namun syal itu ditolak Andhin dan langsung beranjak pergi keluar kelas meninggalkan Pandu sendirian.

"Dhin, tunggu!" Pandu mengejar.

Namun tiba-tiba saja Andhin menghentikan langkah dan berbalik menghadap Pandu. "ini earphone kamu dari Dito." Ia memberikan sebuah earphone yang sebelumnya dititipkan Dito kepadanya, lalu bebalik lagi tak sabar untuk segera pergi.

"Dhin... tunggu, aku anterin kamu pulang ya?"

Andhin menghentikan langkah lagi dan mulai berbalik ke arah Pandu untuk mengatakan sesuatu.

"Kalau gitu, anterin aku ke rumahnya Nita."

"Duh, rumah Nita kejauhan, Dhin. Aku anterin kamu pulang aja ya?"

Andhin menghentak kesal satu kakinya ke lantai. "Iih.. kalau gitu anterin aku ke bengkelnya Teh Nadi," ucapnya masih menghirup cairan hidung sisa tangis.

"Bengkel yang itu?"

"Iya."

Pandu mengangguk menyetujui permintaan.

Next Chapter 🔽

About D ( Her Secret ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang