Bag 27 (Hasil Test)

368 26 0
                                    

Malam semakin larut, wajah kantuk dan lesu tak bisa dielakkan. Menunggu hasil tes yang akan menunjukkan siapa pemakai obat terlarang diantara mereka. Satu per satu sampel urin dikumpulkan untuk diteliti lebih lanjut.

Di ruangan khusus yang di kantor polisi, keenam anggota rombongan duduk bersama menunggu hasil tes dari setiap sampel urin. Kelopak mata semakin terasa berat hingga mengajak raga untuk beristirahat. Namun jiwa mereka terus berontak untuk tetap terjaga di tengah rasa gelisah.

"Kalau ternyata yang hasilnya positif itu diantara kita berempat, kemungkinan besar dia yang nyimpen kartu ATM punya Band kita. Sabu itu bukan barang yang murah," ungkap Ivan mengarahkan pandangan pada tiga orang anggota band.

"Udah lah, kita tunggu aja hasilnya Yang ikut ke Jogja kan bukan band kita doang. Ada Andhin, Ucok. Gak tau juga kan?" Saras berucap dengan mata sayu, lalu mulutnya menguap menahan kantuk.

Waktu sudah menunjukan pukul 1 malam. Satu jam telah berlalu sejak mereka memasuki sebuah ruangan untuk menunggu hasil tes dari sampel urin masing-masing. Rasa lelah tak bisa mereka sembunyikan.

Sebagian dari mereka duduk tertunduk sembari memejamkan mata untuk mencuri waktu tidur—terkecuali Ivan. Ia langsung beranjak dari kursi ketika menerima telepon dari seseorang. Terlihat raut wajah yang semakin gelisah saat menghadapi sang manajer melalui sambungan telepon.

Tak berapa lama setelah itu, dua orang petugas mendatangi ruangan mereka. Rasa kantuk yang semula penuh, kini menghilang dalam sekejap. Semuanya terperanggah kala melihat dua pria berseragam hendak menyampaikan sesuatu.

"Gimana, Pak?" Ivan langsung melangkah gesit menghampiri dua petugas sambil menunda percakapan telepon.

"Atas nama Ucok Rizal, Andhini, Dara, Ivan, kalian boleh pulang. Untuk Aris, ikut saya! Saras juga!"

Semuanya terkejut kala mengetahui siapa seorang pemakai obat terlarang diantara mereka. Terlebih pada Saras yang secara tegas langsung tak menerima tuduhan tersebut. "Loh Pak, kok saya positif? Sumpah loh saya gak pernah make."

"Kalau kamu positif jengkol. Sampel urin kamu kata penguji baunya paling menyengat." Ternyata salah satu petugas hanya bercanda.

"Berarti saya negatif dong, Pak? Yeee si bapak mah bercandanya bikin kaget aja. Itu bukan bau jengkol, tapi tadi siang saya banyak makan pete."

"Iya, kamu juga boleh pulang!" Dua petugas kepolisian mengijinkan Saras untuk pulang bersama teman-temannya yang lain, terkecuali Aris.

Semua mata tertuju pada sang bassis band yang menjadi satu-satunya tersangka pemakai narkoba. Rasa marah dan kecewa hanya bisa mereka ungkapkan melalui tatapan sinis padanya. Pria kalem itu hanya bisa menundukan pandangan menyembunyikan rasa bersalah. Kedua petugas kepolisian langsung menggandeng Aris untuk ditahan untuk proses penyelidikan lebih lanjut.

Namun baru saja beberapa langkah Aris digiring, Ivan mengejar memanggil dua orang petugas untuk menyampaikan sesuatu. "Tunggu, tunggu Pak! Saya mau bicara dulu sama Aris sebentar."

"Ris, tolong ngaku, selama ini maneh kan yang ngambilin uang di rekening band? Maneh juga nyimpen kartu ATM-nya, kan?" tuduhnya pada Aris yang menatapnya lesu.

"Iya, maaf ya," Aris mengangguk. Mata sayunya seolah menunjukan pengakuan bersalah. Ia lalu mengambil dompet dari saku celana dan mengembalikan kartu ATM yang selama ini telah ia curi dari Ivan.

"Kok maneh tega sih, Ris? Pemasukan band kita diambil semua sama maneh sampai kita gak bisa bayar Si Iren. Malah urang yang harus bayar setoran ke manajer tiap bulannya." Dara yang masih berdiri di tempat menyeru dari jarak sana.

Aris membalas tatapan itu namun tak mampu berkata apapun lagi, lalu tertunduk diam seolah mengakui kesalahannya sendiri. Kedua petugas kepolisian kembali membawanya untuk segera dilakukan penahanan.

Lima orang anggota rombongan yang tersisa menyewa mobil yang baru. Perjalanan pulang yang semula menyenangkan, kini menjadi kelabu. Mereka yang tersisa hanya saling terdiam dengan tatapan kosong seolah aura negatif sedang membalut jiwa.

"Van, masa kamu gak tahu sih kalau Aris suka nyabu? Kan deket sama dia?" Saras menggerutu saat mobil baru saja melaju.

Lelaki yang duduk di kursi paling depan menengok ke belakang sejenak melihat siapa yang mengajaknya bicara. "Aku juga punya kehidupan, kali. Gak 24 jam ngawasin dia."

Sementara Dara tiba-tiba teringat momen di lokasi perkemahan. Saat Aris memilih memasuki tenda sendirian dan tidak ikut berkumpul dengan yang lainnya di dekat api unggun. "Waktu kita ngumpul, si Aris emang langsung masuk tenda sendirian. Nah, mungkin saat itu dia lagi ngambil kesempatan buat make."

Dua rekan lain menggeleng-gelengkan kepala ketika ikut mengingat kejadian. Ivan lalu melihat pada dua rekan perempuannya untuk menyampaikan pesan yang dititipkan sang manajer. "Tadi Kang Timo nelepon. Katanya dia pengen ngobrol langsung soal duit di ATM yang ludes itu. Nanti aku kabarin lagi kapan kita bisa ketemu dia di studio."

Hanya dua orang diantara mereka yang memilih tak banyak berbicara. Ucok dan Andhin masih tak menyangka jika salah satu anggota rombongan akan terjerat masalah hukum di waktu yang tak terduga.

***

Dalam kelas, Pandu mempersiapkan beberapa buku pelajaran di atas meja. Ia masih bergelut dengan barang-barang yang harus dipersiapkan sebelum jam pelajaran dimulai. Ketika masih tertunduk dengan aktivitasnya,  ia merasakan ada seseorang yang baru saja datang dan duduk di sampingnya.

"Eh Andhin, kemaren gimana acara keluarganya? Seru ya?" Pandu menyapa seorang gadis yang biasa duduk di sampingnya saat ketika di kelas.

Gadis itu tak langsung menjawab, ia hanya menatap sejenak lalu menyimpan tasnya di atas meja.

"Ya lumayan lah, lancar," jawab Andhin yang tampak kurang bersemangat.

"Penampilan band-nya keren banget ya. Andai aku bisa ikut nonton bareng, pasti seru banget."

Tanggapan yang buat Andhin sedikit tersinggung. Ekspresinya menjadi datar sambil memikirkan apa yang harus dikatakan lagi.

Next Chapter 🔽

About D ( Her Secret ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang