Bag 59 (Ambis)

501 51 12
                                    

"Ooh. Ekhrepp..." Ivan mengulum senyum berpura-pura menahan tawa menyembunyikan rasa gugup. Bahkan tak mampu mengatur fokus menatap mata itu lagi.

"Jawab dong. Biar dialognya kayak sinetron."

Tangannya mengibas. "Oh, enggak. Aku gak bisa akting."

Sejenak mereka terdiam saling bertatap mengguratkan senyum ringan. "Salam ya buat Saras." Dara mengambil alih memecah kekakuan.

Lelaki di hadapannya mengangguk santai. "Ya, nanti aku sampein."

"Hati-hati di jalan."

"Ya, Makasih. Aku pulang dulu." Lalu berbalik pergi menuju mobil kijang merah yang terparkir di halaman rumah. Diikuti oleh tiga tamu lain yang berjalan di belakangnya.

Tepat di depan teras rumah, Dara dan sang ibu tersenyum melambaikan tangan pada mobil yang mulai melaju meninggalkan rumah. Pertemuan yang sangat mengesankan yang mungkin bisa dikenang seumur hidup untuk Dara. Kala dirinya bisa mempertemukan keluarga lain di tempat keluarga yang ia miliki sejak lahir.

***

Kendati waktu yang tersisa tak terlalu banyak, Andhin mulai mengubah gaya hidup. Sebagian besar waktu harus ia gunakan untuk mengisi kapasitas otaknya. Semata untuk mengejar peruntungan masuk Universitas impian. Bisa jadi juga itu adalah tujuan utamanya saat ini.

Dunia basket yang sebelumnya menjadi sebuah kebanggaan, kini harus ia tinggalkan sementara waktu. Entah kapan lagi ia akan mencoba masuk ke dalam tim.

Berjalan sendirian di teras kelas sambil membuka salah satu buku yang dipinjamkan Bu Rani. Dari kejauhan, ia melihat semua anggota tim basket putri dan putra yang tengah berlatih bersama di lapangan. Terbesit di benak Andhin untuk tak lagi memantulkan bola di tengah lapangan. Masih banyak pebasket putri yang lebih berbakat darinya di sekolah. Lagipula, tinggi badannya di bawah standar atlet basket pada umumnya.

Seiring berjalannya waktu, Andhin yang semula mempunyai lingkar pertemanan di lingkup atlet sekolah, kini mencoba berbaur dengan empat siswa ambis di kelasnya—terdiri dari satu laki-laki dan tiga perempuan berkacamata. Kendati merasa kaku dengan obrolan mereka yang kerap kali membahas pelajaran ketika berkumpul bersama, namun semakin hari Andhin mulai terbiasa meski terkadang harus menahan suntuk dengan kurangnya bahasan tentang topik hiburan.

Semangat belajarnya pun kian bertambah setiap berkumpul dengan empat siswa berkacamata yang kini telah menjadi teman paling dekat dengannya di kelas.

Pandu yang telah kembali duduk sebangku dengan Dito cukup merasakan perubahan yang sangat drastis dari Andhin. Ia yang semula selalu menontonnya berlatih basket di tengah lapangan, kini hanya sering melihat gadisnya terpaku membaca buku. Dan yang paling membuatnya heran semenjak berpacaran adalah, Andhin selalu marah ketika waktu belajarnya terganggu.

Saat hendak mengantarnya pulang sekolah, Pandu memberanikan diri membahas perubahan gaya hidup sang pacar tepat di hari ke-10 nya semenjak jadian.

"Andhin, kok sekarang jadi rajin banget?"

"Aku cuma punya waktu setahun lagi buat persiapan tes masuk PTN. Gak mau nyia-nyiain kesempatan ini."

"Setahun kan masih lama."

"Masuk PTN itu gak gampang, Pandu. Saingannya dari seluruh indonesia."

"Oh, iya deh. Aku juga pengen keterima di PTN nih," ucap Pandu sambil menaiki jok motor dan menyalakan mesin. Diikuti Andhin yang duduk di belakangnya.

"Ya makannya, belajar dong."

"Kalau aku gak ngebet banget sih, kalau keterima di PTN ya syukur, kalau enggak ya paling cari PTS yang cocok aja."

About D ( Her Secret ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang