🍑50🍑 Forgive

1.7K 64 2
                                    

Penyesalan memang datang terlambat. Setelah semua terjadi, baru kita akan menyesal.

Happy reading 🍑

***

Hari hari semakin berlalu. Kedekatan Freya dan Glan bukanlah hal yang rahasia lagi. Mereka semakin mengumbar keromantisan di dunia nyata maupun di dunia maya. Kerap kali mereka bersaing dengan Admon dan Amri yang tidak kalah romantis. “Aaa ...,” kata Amri sambil menyodorkan sesendok nasi pada suaminya. Melihat hal itu, Freya dan Glan menatap orangtuanya dengan tatapan kesal.

“Glan, makan di luar yuk. Aku mau es krim,” pinta Freya.

“Yuk, daripada di sini kita gak dianggap,” kata Glan.

“Eh, siapa yang bolehin kalian ke luar?” tanya Admon mencegah mereka pergi.

“Duh, Papa lanjutin aja romantisan sama Mama. Aku gak mau jadi penonton,” kata Freya, lalu menarik tangan Glan keluar dari rumah.

“Jalan kaki?” tanya Glan.

Freya mengangguk sambil tersenyum. “Lebih romantis ‘kan kalau jalan kaki sambil gandengan tangan?” kata Freya sambil menunjukkan tangan mereka yang tertaut satu sama lain. Mereka memang tidak dalam status berpacaran, tetapi mereka membuat komitmen untuk tetap bersama selamanya dan juga tetap melakukan hal-hal romantis seperti pasangan pada umumnya. Mereka juga sudah mengubah gaya bahasa mereka lagi agar merasa lebih spesial.

“Udah gede ya kamu,” kata Glan sambil mengacak-acak rambut Freya.

“Dih, jangan ngacak-ngacak rambut aku. Kalau aku baper, mau tanggung jawab?” cicit Freya sambil memasang ekspresi cemberut.

“Pasti dong. Emang itu tujuan aku. Biar kamu bapernya sama aku doang. Gak boleh sama cowok lain,” ucap Glan sambil mengacak-acak rambut Freya lagi.

“Cemburunya dikurangin,” peringat Freya.

“Kamu juga,” balas Glan.

“Kita mau ke mana emang?” tanya Freya.

“Lah, emang kamu mau ke mana” tanya Glan balik.

“Kok malah balik nanya sih?” geram Freya.

“Ya udah sih, kita jalan-jalan aja. Mumpung udaranya enak,” kata Glan sambil tersenyum ceria.

“Eh, itu ada es krim. Mau yang vanila. Dua ya,” kata Freya saat melihat sebuah kedai es krim di pinggir jalan.

“Tapi, aku gak suka rasa vanila,” tolak Glan.

“Siapa bilang buat kamu coba? Aku yang makan dua-duanya kali,” ucap Freya sambil terkekeh pelan.

“Gendut baru tahu rasa,” gumam Glan pelan.

“Apa kamu bilang?” tanya Freya.

“Eh, enggak-enggak. Ayo ke sana!” dalih Glan mengalihkan pembicaraan. Freya pun menuruti Glan dan mereka berjalan menuju kedai es krim itu. Setelah selesai membeli es krim, mereka kembali berjalan tanpa tujuan yang jelas. Yang penting berdua, ke manapun mereka pergi.

“Duduk bentar di sana ya. Aku capek,” kata Freya sambil menunjuk kursi panjang yang tersedia di depan taman kota.

“Mau naik taksi?” tanya Glan.

“Enggak. Gak enak kalau ada orang ketiga,” kata Freya sambil menjilati kedua es krimnya.

“Dasar,” gumam Glan sambil tersenyum.

“Beberapa hari lagi kita bakalan ospek. Males banget kalau ketemu senior nyebelin,” kata Freya yang tiba-tiba membahas ospek yang sudah dekat.

“Belum lagi senior yang bakalan godain kamu,” sambung Glan.

“Mana ada. Yang ada tuh kamu yang bakalan digodain senior genit,” sangkal Freya.

“Pokoknya kamu harus sama aku terus. Gak boleh deket-deket sama cowok lain. Apalagi sama mantan kamu itu,” tegas Glan.

“Dih, ngapain bahas mantan sih? Udah masa lalu itu,” ucap Freya.

“Aku bukannya mantan kamu ya?” tanya Glan.

“Beda. Kamu masa depan aku, bukan masa lalu aku,” kata Freya sambil nyengir.

“Kayak tahu kata-katanya. Kamu copast ya?” tuduh Glan.

Copast dari kamu dong,” ucap Freya jujur.

Es krim mereka berdua pun habis. Glan mengambil tisu yang ia minta di kedai es krim. Kemudian, ia membersihkan bibir Freya yang sedikit belepotan setelah memakan es krim. “Mau pulang?” tanya Glan.

Freya menggelengkan kepalanya. Belum ada satu jam mereka jalan-jalan. Ia masih ingin menikmati waktu berdua dengan Glan. “Jalan-jalan di taman kota aja. Laper,” kata Freya sambil menarik tangan Glan menuju taman kota.

“Frey,” panggil seseorang yang langsung mencekal tangan Freya.

“Ngapain lo di sini, Run?” tanya Glan sambil menarik Freya agar berdiri di belakangnya.

“Gue mau ngomong sama lo, Frey. Sebentar aja,” pinta Arun memelas.

“Lo mau ngapain Freya lagi? Lebih bagus lo ngilang aja dari kehidupan Freya. Gak usah ganggu dia lagi,” kata Glan dengan nada dingin.

Please, gue mau ngomong. Bentar aja. Gue gak ada niat ngapa-ngapain kok,” ucap Arun dengan tatapan memohon.

“Bentar aja, Glan. Kamu tenang aja,” kata Freya. Ia pun menarik tangan Arun dan mencari tempat yang sedikit sepi. “Mau ngomong apa?” tanya Freya sambil melepaskan tangan Arun.

“Gue ... gue minta maaf, Frey,” kata Arun sambil menitikkan air mata.

“Gue gak bakalan kemakan akting palsu lo, Run. Jadi, mending mulai sekarang lo pergi dari hidup gue,” ketus Freya sambil menatap ke arah lain.

“Gue nyesel. Gue gak seharusnya ngelakuin itu sama lo. Gue sadar kalau perbuatan gue sama lo salah,” ucap Arun sambil menangis terisak. “Maafin gue,” lirihnya lagi.

“Gue gak tahu harus gimana, Run. Gue merasa sangat dikhianati. Lo satu-satunya orang yang gue anggap sahabat. Lo satu-satunya sahabat gue, Run. Tapi, lo malah ada niatan mau bunuh gue. Gue kecewa,” kata Freya sambil terus memalingkan wajahnya. Ia juga tidak kuasa menahan air mata yang mendesak ingin keluar.

“Gue janji gak bakalan pernah khianatin lo lagi, Frey. Gue janji gak bakalan nyakitin lo lagi. Gue sadar kalau gue gak bisa hidup tanpa lo, Frey. Cuma lo yang gue punya, Frey. Orang tua gue ada, tapi gue ngerasa mereka gak ada. Cuma lo yang selalu ada buat gue,” ungkap Arun. Setelah peristiwa pada malam itu terjadi, ia benar-benar sadar kalau ia sudah merenggut satu-satunya kebahagiaannya sendiri. Tidak hanya kebahagiaan Freya, kebahagiaannya juga. Freya adalah satu-satunya sahabat yang ia punya dan ia malah berbuat seperti itu hanya karena perasaan iri.

“Gue maafin lo, Run. Tapi—”

“Makasih, Frey. Makasih udah maafin gue,” potong Arun sambil memeluk Freya dengan erat.

“Tapi kita gak bisa kayak dulu. Gue gak mau lo ada di kehidupan gue lagi,” kata Freya sambil melepaskan pelukan Arun. Freya pun meninggalkan Arun yang dilanda penyesalan yang mendalam. Freya berlari menuju Glan dengan berlinang air mata. Glan terkejut melihat Freya yang menangis setelah berbicara dengan Arun.

“Kamu kenapa, Frey? Arun ngapain kamu?” tanya Glan panik. Freya langsung memeluk Glan erat dan menangis di pelukan Glan.

“Enggak, dia gak ngapa-ngapain. Dia minta maaf sama aku, Glan. Aku maafin dia dan aku bilang kalau aku sama dia gak bisa kayak dulu lagi. Sakit rasanya, Glan, pas aku lihat Arun sedih. Aku sayang dia. Tapi—”

“Sssttt! Keputusan kamu udah tepat, Frey. Kalian gak bakalan bisa kayak dulu setelah apa yang dia lakuin ke kamu,” sela Glan sambil mengusap-usap rambut Freya untuk menenangkan cewek itu.

***

FUCKTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang