Api lawan api akan membuat api itu semakin membesar.
Happy reading 🍑
Keesokan harinya, pada jam istirahat, Freya bersama Neola dan Salwa menuju ke kelas Gravi. Mereka hendak mengajak Blenda juga, tetapi cewek itu menolak dengan alasan belajar karena sebentar lagi kelas XII akan ujian nasional.
Freya sekarang akan memperjelas kejadian yang menimpanya. Ia akan bertanya pada Gravi apakah Gravi penyebab kejadian itu.
"Gravi ada?" tanya Freya pada salah satu siswi yang kebetulan ada di depan kelas Gravi.
"Ada, Kak. Mau aku panggilin?"
"Boleh."
Tak lama kemudian keluarlah Gravi. Ia memandang Freya penuh tanya.
"Ada apa?" tanya Freya ketus.
"Lo kan yang ngunci pintu di gudang? Lo kan yang jatuhin pot bunga sampai kena gue?" tanya Freya to the point.
"Maksud lo apa sih? Gak jelas banget."
"Gak usah pura-pura bego deh lo!" bentak Freya sambil menatap Gravi tajam. Gravi tampak cuek dengan kemarahan Freya dan itu membuat Freya tambah emosi.
"Gue gak pernah tuh. Udahlah, gue sibuk. Kalian buang-buang waktu gue aja," kata Gravi sambil menatap Freya, Neola, dan Salwa dengan tatapan malas.
Gravi hendak memasuki kelasnya, tetapi Neola menjambak rambut Gravi. Gravi meringis kesakitan karena rambutnya dijambak.
"Lo bener-bener makin kurang ajar sama gue," bisik Freya pelan tepat di depan wajah Gravi. Freya memberi kode Neola agar melepaskan jambakan di rambut Gravi. Neola segera melepaskan jambakannya dengan kasar.
Plak!
Satu tamparan dilayangkan oleh Freya ke pipi Gravi hingga Gravi terhuyung. Gravi menatap Freya dengan marah sambil memegang pipinya yang terasa sakit.
"Freya!" bentak seseorang dari kejauhan. Freya menegang saat mendengar suara itu. Ia menoleh ke sumber suara.
"Glan ...," lirihnya. Glan berjalan cepat ke arahnya dengan ekspresi marah. Glan pasti marah karena ia melabrak Gravi.
"Kamu kenapa sih? Kenapa kamu tega banget kasar sama Gravi? Keroyokan lagi," tanya Glan sambil menatap Freya tajam.
Freya menatap Glan dengan ekspresi kecewa. Glan lebih memihak Gravi daripada dirinya dan itu membuat Freya merasa sangat kecewa.
"Kenapa sih semua orang lihat sepenggal dari kejadian? Kalau dilihat dari awal pasti ceritanya jadi beda," lirih Freya.
"Tapi kelakuan kamu tetep salah, Frey! Kamu gak berhak main hakim sendiri!" bentak Glan emosi. Freya tidak terkejut lagi dengan bentakan Glan. Rasanya ia terbiasa dengan Glan yang selalu membentak kalau sedang marah.
"Glan, gue yakin Gravi pelakunya. Dia yang ngunciin Freya di gudang dan jatuhin pot bunga," kata Salwa menengahi pertengkaran.
"Enggak, Kak. Aku gak pernah gitu. Percaya sama aku, Kak. Kakak tahu kan aku gak pernah jahat sama orang. Lagian gak ada alasan buat aku ngelakuin itu sama Kak Freya," elak Gravi sebelum Glan bertanya padanya.
"Ada! Lo suka sama Glan dan lo gak suka gue jadi pacarnya," kata Freya.
"Frey, ikut aku!" ucap Glan sambil menarik tangan Freya dengan kasar.
Glan mengajak Freya ke belakang perpustakaan yang selalu sepi karena jarang ada orang yang melalui tempat itu. Glan melepaskan tangan Freya dengan kasar.
"Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?"
"Apa lagi sih yang gak jelas, Glan?" tanya Freya sambil terkekeh sinis. "Kamu itu pinter dan kenapa cuma ngertiin kalimat itu kamu gak ngerti? Udah jadi bego ya?" lanjutnya.
"Frey, kamu salah paham. Gravi gak mungkin suka sama aku. Kamu jangan ngarang cerita deh," kata Glan melunak. Api lawan api akan membuat api itu semakin membesar. Jadi, Glan berusaha semaksimal mungkin untuk menahan emosinya karena Freya sedang berapi-api.
"Salah paham? Salah paham apanya? Jelas-jelas dia mohon-mohon sama aku biar aku mutusin kamu di sini," ucap Freya sambil menunjuk-nunjuk tempat Gravi berlutut dan memohon agar Freya melepaskan Glan.
"Enggak. Aku kenal Gravi dari kecil. Dia gak serendah itu buat mohon-mohon sama orang. Kamu gak usah ngarang cerita, Frey."
Freya tertawa hambar sambil mengusap wajahnya karena frustasi. Ia bingung memikirkan cara agar Glan percaya padanya. Glan benar-benar tidak percaya padanya dan lebih mempercayai Gravi. Sungguh Freya merasa sangat kecewa.
Freya berjongkok karena kakinya terasa lemas. Kepalanya menunduk sambil memeluk lututnya. Perlahan air matanya mengalir tanpa disadarinya. Ia benar-benar merasa kesal dan kecewa.
"Frey ...," panggil Glan sambil berjongkok dan menepuk bahu Freya pelan. Freya tidak merespons dan tetap dalam posisinya. "... jangan gini dong."
"Kamu yang jangan gini, Glan. Kenapa sih kamu lebih percaya Gravi? Orang polos di luar itu belum tentu hatinya baik," kata Freya tanpa merubah posisinya.
"Terus aku harus gimana, Frey? Kamu egois banget."
Freya mengangkat kepalanya dan menatap Glan. Egois? Freya benar-benar tidak habis pikir dengan pola pikir Glan.
Freya berdiri dan menghapus air matanya. Ia tidak boleh menjadi cengeng hanya karena Glan. "Hubungan itu harus dilandasi kepercayaan. Kalau gak ada kepercayaan, gak usah dilanjutin. Ngerti?"
"Maksud kamu apa?"
"Lo gak ngerti juga? Astaga, lo beneran jadi bego. Kita putus," kata Freya tanpa menatap Glan. Ia takut keputusan yang ia buat akan berubah begitu melihat Glan.
"Kok main minta putus aja, Frey? Kita omongin baik-baik kan bisa. Frey! Freya!"
Freya berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang. Ia mengabaikan semua teriakan Glan dan terus berjalan cepat menjauhi Glan.
3/4/2020
KAMU SEDANG MEMBACA
FUCKTA (END)
Teen FictionFreya Amatera Pranaja, biasa dipanggil Freya. Freya itu galak, ya galak banget. Kalau good mood ya seperti kucing manja dan kalau badmood ya seperti kucing tidur yang diganggu. Freya naksir sama cowok sombong yang bernama Glandion Parviz Gardapati...