🍑47🍑 Safe

1.5K 64 15
                                    

Lagi-lagi gengsi mengalahkan rasa terpendam. Ada hasrat untuk bersama, tetapi gengsi menghalangi.

Happy reading 🍑

***

Sejak tadi, Freya terus saja bersin-bersin. Pasti ini adalah efek terkena angin malam saat di rooftop. "Kamu masuk angin deh kayaknya," kata Derry. Ia menyelimuti tubuh Freya sampai leher. Kemudian, ia mengecek suhu tubuh Freya untuk memastikan cewek itu demam atau tidak. "Kakak ambilin obat dulu ya," kata Derry. Freya hanya mengangguk. Derry pun pergi mengambil obat.

"Hubungan lo sama Arun gimana?" tanya Freya pada Brishen yang duduk di bibir kasur.

"Lo gak ngerti ya, Frey?" tanya Brishen. Freya mengerutkan keningnya bingung. "Gue gak bener-bener suka sama dia. Sejak awal gue udah curiga sama dia. Makanya gue cari cara biar bisa deket sama dia dan dapet informasi," kata Brishen saat melihat Freya yang tampak bingung.

"Ya ampun, Bri," lirih Freya.

"Gue gak bakal tinggal diem saat orang yang gue sayang dalam bahaya," kata Brishen sambil tersenyum kecut.

"Bri," lirih Freya lagi.

"Tenang, Frey. Gue gak papa kok. Lo bahagia, gue juga bahagia," ucap Brishen yang mengerti kalau Freya merasa bersalah.

"Bohong. Gue tahu lo sakit hati," kata Freya.

"Lebih sakit kalau lo gak bahagia, Frey. Makanya mulai sekarang, lakuin apa yang lo pengin. Lo mau balikan sama Glan, ‘kan? Balikan gih," suruh Brishen sambil tersenyum. Senyum Brishen yang tampak menyakitkan itu Freya bisa melihatnya. Sebenarnya Freya tidak tega menyakiti orang sebaik Brishen, tetapi mau bagaimana lagi, Freya tidak bisa bersama Brishen karena hatinya hanya milik Glan seorang.

"Freya," panggil Amri sambil mengetuk pintu kamar Freya yang terbuka. Amri datang membawa bubur yang ia masak sendiri dengan bantuan Bi Ima. "Mama buatin kamu bubur. Makan dulu ya," kata Amri sambil memasuki kamar Freya.

"Tante, Freya, aku pamit pulang ya. Udah malem," kata Brishen sambil menyalami tangan Amri. Brishen pun keluar dari kamar Freya. Amri meletakkan bubur itu di meja dan duduk di bibir kasur.

"Freya, maafin Mama ya," ucap Amri sambil menitikkan air mata.

Melihat mamanya menangis, Freya pun merubah posisinya menjadi duduk. Ia langsung memeluk mamanya dengan erat. "Mama, Mama kenapa minta maaf? Harusnya aku yang minta maaf."

"Mama gak seharusnya menyembunyikan itu semua ke kamu. Mama harusnya jujur sama kamu dan gak bikin kamu sakit hati," kata Amri.

"Ma, udah dong. Jangan nangis lagi," sahut Freya sambil melepaskan pelukan mereka. Ia mengusap air mata di wajah Amri. "Freya sayang Mama."

"Mama juga sayang kamu, Frey. Walaupun kamu bukan anak kandung Mama, Mama sayang banget sama kamu. Papa juga. Kamu itu bagian hidup kami," kata Amri sambil tersenyum.

"Peyuk lagi," kata Freya manja. Ia memeluk Amri dengan erat sambil tersenyum bahagia. Ia menyesal telah mendiamkan orang tuanya selama beberapa hari belakangan ini.

"Keluar deh manjanya," kata Amri sambil terkekeh.

"Eh, Papa mana?" tanya Freya sambil melepaskan pelukan mereka.

"Papa lembur. Mau nyelesain tugas yang numpuk. Rencananya Papa kamu mau ber .…" Amri tidak melanjutkan kalimatnya dan tersenyum tipis.

"Kenapa, Ma?" tanya Freya penasaran.

"Ah, enggak kok," sangkal Amri.

"Ma," panggil Glan yang baru saja pulang.

"Eh, Glan, sini," suruh Amri.

Tidak ada angin tidak ada hujan Glan menaruh tangannya di dahi Freya. Freya yang terkejut pun menepis tangan Glan dengan kasar. "Apaan sih? Main pegang-pegang gue aja," gerutu Freya sambil menatap Glan sinis.

"Lo demam. Udah minum obat?" tanya Glan.

"Belum," sahut Freya.

"Gue ambilin dulu," kata Glan.

"Gak usah. Udah Kak Derry," ketus Freya.

"Lama banget. Emangnya ngambil obat di kutub selatan?" cibir Glan heran.

"Mana gue tahu. Tanya aja sendiri," sahut Freya asal. Amri terkikik geli melihat pertengkaran kecil mereka yang tidak ada habis-habisnya.

"Frey, ini obatnya," kata Derry yang datang membawa obat.

"Gak usah, Kak. Gak perlu. Udah sehat ini," kata Freya mencari alasan agar tidak meminum obat.

"Enak aja bilang udah sembuh. Kakak jauh-jauh beli ini obat di apotek. Harus diminum," kata Derry kesal.

"No! Gak usah. Aku udah sembuh," tolak Freya.

"Lo ada dua pilihan. Lo minum obat atau balikan sama gue?" sambar Glan.

Freya melotot kesal. "Ogah gue balikan sama lo," tolak Freya. Tidak ada pilihan lain lagi. Bukannya ia tidak mau balikan dengan Glan, hanya saja ia gengsi. Jadi ia lebih memilih meminum obat daripada balikan dengan Glan.

"Obatnya pahit loh, Frey. Mending jangan diminum. Ini efek sampingnya bisa mules-mules tujuh hari tujuh malam loh," kata Derry menakut-nakuti. Amri hanya bisa terkekeh geli melihat interaksi Freya, Glan, dan Derry itu.

"Yang bener, Kak? Jangan bohong. Eh, gak papa. Gue minum aja nih obat. Walaupun efek samping obatnya kejang-kejang, gue gak peduli. Gue mau minum nih obat," kata Freya sambil merampas plastik berisi obat.

"Eh, ini buburnya dimakan dulu," kata Amri ketika teringat Freya belum memakan bubur buatannya.

"Lo beneran gak mau balikan sama gue? Mama sama Papa udah ngasih restu loh," kata Glan sambil memasang ekspresi sedih.

"Ogah!" tolak Freya mentah-mentah.

***

FUCKTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang