51 | Putus

280 41 2
                                    

Karena untuk melepaskan memerlukan pengorbanan yang lebih besar daripada mempertahankan.

***

"A-anu lho Ficka ... Gue gak ngerti. Umm ... Bisa langsung ke intinya aja gak?" Melody terlihat kebingungan. Berkali-kali ia mengedipkan matanya gemas, melirik Timothy lalu bergantian pada Ficka. Tak sedikit pun sepasang kekasih itu membalas tatapannya. Mereka malah beradu pandang dengan mata berair.

"Sebenarnya pacar lo itu siapa sih?"

Deg

Jantung Timothy seketika berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia menatap Ficka dengan lurus dan menelisik dalam. Kedua matanya memerah akibat menahan tangisan. Bibir merah muda itu bahkan sedikit bergetar walau belum berbicara lagi.

Melody yang kekanak-kanakan rupanya belum mengerti atas situasi yang terjadi. Ia yang masih setia menggenggam tangan sang kakak, menggoyang-goyangkannya bermaksud meminta penjelasan.

"Momo ... Ada apa ...? Kenapa ... Kalian kayak gitu?"

Sebab Ficka tidak kembali mengangkat suara, Timothy melepas genggaman Melody. Memegang kedua bahu adiknya sambil sesekali merapikan tatanan rambutnya yang tertiup angin sepoi-sepoi. Timothy mengulas senyuman semanis madu.

"Duduk dulu disini, ya? Gak usah dengerin kita ngomong," ujarnya sambil mengantarkan Melody pada bangku panjang halte. Ficka terus mengikuti pergerakan Timothy lantas mendelikkan matanya jengah.

Lelaki itu kembali ke tempatnya semula. Mencoba meraih tangan Ficka, namun gadis itu segera menepisnya. Timothy menyisir rambut depannya menggunakan jari-jemari. Ia terlihat frustrasi dengan kelakuan aneh Ficka.

"Terus lo maunya apa, hmm?" tanya Timothy memelankan suaranya karena khawatir akan terdengar ke telinga Melody.

Bahkan Ficka merasa jika dirinya tidak lebih berarti daripada seorang Melody di kehidupan Timothy. Sebab Melody sahabatnya, ia tidak ingin terlalu terburu-buru. Bagaimanapun juga setidaknya seorang terdakwa harus mempunyai satu alibi untuk membela diri saat di persidangan nanti.

"Gak perlu yang terlalu mencolok, asal bisa jelas, gue tau apa yang harus gue lakuin ke depannya," ujar Ficka bermonolog.

"AKU MASIH TING TING DIJAMIN MASIH TING TING AKU BELUM BERPENGALAMAN~"

Kedatangan Melody dan Nayya membuat Ficka segera menutupi apa yang sedang dipikirkannya. "Hoi! Suara fals gitu jangan diuber-uber dong. Kagak enak nih telinga gue!" cerca Ficka dibalas endikan bahu oleh lawan bicaranya.

"Au dah, pagi-pagi nih orang gila udah berulah aja. Nyesel gue jalan bareng lo Mel," timpal Nayya lantas menempelkan bokongnya ke kursi tempatnya duduk.

"Kak, gue emang masih ting ting. Jangan cembokur ya lo berdua," balas Melody.

"Geblek lo! Gue juga belum berpengalaman! Lo pikir gue cewek apaan?!"

"Oh masa? Awalnya gue pikir lo tipe cewek yang sangat mengharapkan malam Jumat. Yang hobinya sunnah rasul," jawab Melody disertai senyuman miringnya. Saat itu juga Nayya memukul kepala sahabatnya menggunakan buku paket tebal. Melody meringis, ia membalas apa yang Nayya lakukan sebanyak sepuluh kali lipat.

"Curang anjir! Gue mukulnya sekali, eh, lo malah sepuluh kali. Gak waras ya lo! Sengaja mau bikin gue gegar otak kali!" sungut Nayya. Melody menjulurkan lidah sambil bergoyang-goyang.

"Sinting!"

"Emang. Kenapa, hmm?" sialan! Si gila malah semakin gencar membuat Nayya naik darah. Menyenangkan!

My Brother My Boyfriend [ SELESAI ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang